Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai Setya Novanto masih menyangkal terlibat dalam perkara korupsi e-KTP selama proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
"Sejauh ini informasi yang saya terima belum ada informasi signifikan yang disampaikan oleh terdakwa dan kita tahu di persidangan itu masih berupa sangkalan-sangkalan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Hal tersebut dikatakannya sebagai respons atas pengajuan Setya Novanto menjadi "juctice collaborator" (JC) kepada KPK. JC adalah pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus.
"Kalau mengacu pada aturan di Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ataupun Surat Edaran MA, maka tentu kami harus cermati syarat-syarat seorang JC tersebut, termasuk salah satu di antaranya pengakuan perbuatannya dan membuka pihak lain yang lebih besar," ucap Febri.
Namun, Febri menyatakan bahwa KPK tetap akan melihat proses persidangan mantan Ketua DPR RI itu apakah nantinya akan mengakui perbuatannya atau tidak.
"Nanti kami lihat saja apa yang disampaikan oleh Setya Novanto di persidangan. Misalnya, pertama apakah mengakui perbuatannya, itu akan kami lihat. Kami simak sama-sama," ungkap Febri.
Selain itu, kata dia, KPK juga akan melihat apakah Setya Novanto dapat membuka peran pihak yang lebih besar dalam perkara korupsi e-KTP itu.
"Peran dari pihak-pihak lain itu tentu kami akan lihat kesesuaiannya dengan bukti-bukti yang lain karena penanganan kasus korupsi itu tetap harus dilakukan dengan sangat hati-hati," kata Febri.
Untuk diketahui bahwa seseorang yang mengajukan JC bukan lah pelaku utama dari kasus tersebut.
Indikator selanjutnya untuk memberikan status JC bahwa terdakwa mengakui perbuatannya terlebih dahulu.
Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek e-KTP.
Dalam perkara ini, Novanto didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: