Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pasang Surut Industri Elektronika di Indonesia

Pasang Surut Industri Elektronika di Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kisah perjalanan industri elektronika Indonesia terbagi atas enam babak. Babak pertama dimulai pada era 1950-an ketika Indonesia baru belajar berdiri menjadi negara merdeka. Babak berikutnya dekade 1960-an, 1970-an, hingga 2000-an. Setiap babak tentu ada tonggak sejarahnya. Tonggak-tonggak itulah yang coba direkam dalam tulisan ini untuk mengetahui tapakan sejarah industri elektronika di Indonesia.

Dekade 1950-an

Pascaproklamasi kemerdekaan, setidaknya ada tiga pelaku industri elektronika, yakni Philips Nederland (produk radio), PT Transistor Radio Manufacturing (milik mendiang Thayeb M. Gobel), dan PT Nusantara Polar. Sebagai negara yang belum sepenuhnya diakui dunia dan masih berkonfrontasi dengan Belanda, hampir semua produk elektronika masih diimpor. Pabrik yang ada hanya sebatas perakit saja. Kebijakan pemerintah RI ketika itu melindungi hasil produk yang dirakit di dalam negeri.

Dekade 1960-an

Di era 1960- an, ada perkembangan signifikan ketika Thayeb M. Gobel menjalin kemitraan dengan perusahaan asal Jepang, Matsushita Corporation, saat memproduksi televisi hitam putih dalam rangka Asian Games ke-4 tahun 1962. Di era itu, radio menjadi produk andalan sarana komunikasi yang diproduksi oleh Philips Negerland merek Philips, PT Transistor Radio Manufacturing merek Tjawang, dan PT Nusantara Polar dengan merek Radio Nusantara. Momentum besarnya mulai lahir perusahaan patungan antara Gobel dan Matsushita.

Dekada 1970-an

Di era ini mulai bermunculan penanaman modal asing (PMA) berbekal regulasi PMA, seperti National (Panasonic Gobel), Sanyo, Toshiba, Polytron, dan lainnya. Kehadiran perusahaan tersebut memangkas ketergantungan negara terhadap impor, terutama produk elektronik impor. Pemerintah ketika itu mengeluarkan aturan larangan impor CBU dan memberi tarif rendah terhadap impor CKD guna merangsang industri perakitan.

Dekade 1980-an

Hingga pertengahan 1980-an, industri elektronik Indonesia masih menarik, beberapa pemain baru, seperti Samsung dan Goldstar yang mulai masuk. Namun setelah itu,  pemerintah mengubah gebrakan deregulasi untuk menggalakkan ekspor nonmigas karena penerimaan dari ekspor migas tidak bisa diandalkan lagi. Deregulasi tersebut juga mengizinkan semua barang elektronik dapat diimpor, impor produk akhir juga diturunkan dari 20%—60% menjadi 20%—40%, dan tarif terhadap komponen menjadi 0%—5%.

Dekade 1990-an

Di era ini, pemerintah memberlakukan kerja sama ASEAN Free Trade Area. Kerja sama ASEAN Free Trade Area ini membuat Indonesia dibanjiri produk elektronik impor dalam bentuk jadi dari berbagai negara, seperti Korea, Eropa, dan Cina. 

Dekade 2000-an

Industri elektronik memasuki era baru dengan teknologi canggih yang merambah bidang digital dengan kemampuan komputer dan robotik. Ini membuat produsen elektronik dalam negeri semakin kalah bersaing. Pasar elektronik yang tadinya didominasi oleh produsen Jepang seperti Sharp, Toshiba, dan Sony mulai tergeser muncul merek-merek lain, seperti Samsung dan LG dari Korea, serta merek dari Cina. Satu demi satu perusahaan elektronika Jepang pun angkat kaki dari Indonesia.

Salah satu penyebab produk elektronika dalam negeri kurang bisa bersaing karena produk impor jauh lebih murah yang dipicu oleh tarif bea masuk (BM) yang lebih kecil dibanding impor komponen elektronik. Selain itu, masih lemahnya struktur industri elektronika Indonesia menjadi pangkal penyebab. Kandungan lokal produk elektronik dan alat-alat listrik rumah tangga diperkirakan hanya 25%—30%.

Kementerian Perindustrian mencatat, komponen elektronika yang diproduksi di dalam negeri terbilang masih elemen dasar (speaker, transformer, chasis, cartoon box) belum menyentuh bagian dengan kandungan teknologi tinggi seperti kompresor.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: