Sejak pemerintah melelang 16 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mine mouth atau mulut tambang pada 29 Maret 2017 lalu, baru ada 1 proyek PLTU mulut tambang yang mendapat power purchase agreement (PPA), yakni PLTU mulut tambang Sumsel-8 dengan kapasitas 2x620 mw (1.240 mw) oleh PT Bukit Asam Tbk. Proyek senilai US$1,7 miliar atau sekitar Rp22,7 triliun (kurs Rp13.300) ini ditargetkan mulai dikonstruksi pada pertengahan tahun 2018 ini dan beroperasi (commercial operation date/ COD) pada 2021 mendatang.
Sepinya minat swasta (Independent Power Producer/ IPP) ini ditengarai karena adanya peraturan yang dinilai menghambat iklim investasi di sektor kelistrikan. Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang, menilai pemerintah kurang memberikan banyak kemudahan dan keberpihakan guna menjaga kedaulatan energi nasional. Ia berharap, rencana penghapusan 11 aturan soal SNI yang tengah dikaji pemerintah berfokus pada aturan terkait PPA.
PLTU mulut tambang seharusnya menarik karena dibangun di dekat lokasi pertambangan. Ongkos angkut bahan baku PLTU mulut tambang yang murah akan berujung pada efisiensi biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit dan tarif jual listrik yang yang lebih tinggi. Tarif jual listrik IPP kepada PLN, sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terbaru Nomor 19 Tahun 2017, dipatok 75% dari BPP regional. Skema biaya (BPP) plus margin ini unik dan hanya ada di PLTU mulut tambang.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 hingga 2026, pemerintah melalui PLN berencana menambah 16 proyek PLTU mulut tambang dengan total kapasitas 7.030 mw. Ini akan membuat bauran energi (energy mix) batu bara sedikit meningkat menjadi 50,4% dari sebelumnya 50,3% dari total bauran energi sebesar 77,9 gw pada 10 tahun mendatang, atau sekitar 31,9 gw. Penetapan batu bara sebagai energi primer tentu tidak sembarangan. Salah satu faktornya adalah cadangan batu bara nasional yang masih memadai. Hingga akhir tahun 2016, cadangan batu bara terbukti tercatat 28,45 miliar ton dengan potensi sumber daya yang mencapai 128,06 miliar ton, jumlah potensi ini meningkat dari tahun sebelumnya 126,61 miliar ton.
Adapun total produksi batu bara oleh perusahaan sepanjang tahun lalu mencapai 461 juta ton, lebih tinggi dari produki tahun 2016 sebanyak 456 juta ton, yang lazimnya terserap oleh pasar domestik sebesar 30% dan sisanya diekspor. Namun, yang terserap oleh pasar domestik hanya 97 juta ton, masih jauh di bawah target pemanfaatan 2017, 121 juta ton. Adanya proyek PLTU mulut tambang menjadi incaran para produsen untuk meningkatkan penjualannya.
Menurut data PLN, saat ini kapasitas PLTU yang sudah beroperasi sebesar 28,09 gw atau 52,6% dari total kapasitas pembangkit di Indonesia 54,02 gw. Sementara itu, harga batu bara mengambil porsi sebesar 33,5% dari rata-rata biaya pokok produksi (BPP) nasional yang saat ini sebesar US$7,35 sen per kilowatt hour (kWh). Sebelumnya, dikabarkan banyak perusahaan mengincar proyek PLTU mulut tambang, seperti PT Bukit Asam Tbk, PT Adaro Energy Internasional Tbk, PT Darma Henwa Tbk (Bakrie Group), PT Indonesia Power, serta PT Toba Bara Sejahtera Tbk.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: