Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengemban beberapa tugas penting yang dapat menumbuhkan industri perikanan nasional. Perbaikan distribusi dan logistik hasil perikanan dan penguatan daya saing merupakan beberapa tugas penting yang harus dieksekusi secara tepat. Beberapa hal yang dapat meningkatkan daya saing tersebut konkretnya, antara lain perluasan pelaksanaan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) hingga menugaskan perusahaan negara bidang perikanan untuk melaksanakan usaha industri perikanan nasional yang bersifat perintisan dan strategis.
Tahun lalu, KKP menetapkan program pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT). Program tersebut menetapkan 12 lokasi SKPT, yakni Sabang, Mentawai, Sebatik, Natuna, Talaud, Morotai, Biak, Mimika, Merauke, Saumlaki, Rote Ndao, dan Sumba Timur. Sentra tersebut rencananya akan menjadi gerbang ekspor perikanan.
Selain itu, untuk menjaga kualitas perikanan, program penguatan sistem rantai dingin untuk menjaga mutu produk perikanan dengan mengadakan sarana dan prasarana wilayah SKPT dan wilayah lainnya. Adapun sarana tersebut antara lain cold storage, ice flake machine, cool box, chest freezer, dll.
Pemerintah juga mendorong pemanfaatan sarana pendukung yang menggunakan dapat mencapai titik efisiensi. Dalam Forum Merdeka Barat pada Januari lalu, Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP, Nilanto Perbowo, pernah mengatakan akan dilakukan peralihan semua yang dari genset diesel ke listrik, khususnya untuk perangkat pendukung seperti cold storage.
Penghematan yang bisa diperoleh dengan migrasi ke listrik PLN juga dipertegas oleh Direktur Central Proteina Prima, Hendri Laiman. Ia menyebutkan, para pembudidaya ikan bisa menghemat biaya listrik sekitar 35%, dalam hal ini listrik yang diproduksi oleh PLN. Apabila menggunakan sumber listrik dari genset diesel sangat tidak efisien.
Sejauh ini, ekspor perikanan Indonesia menunjukkan tren kenaikan dalam jangka pendek. Memang nilai ekspor tersebut pada tahun 2017 jauh lebih besar bila dibandingkan tahun 2016. Nilai ekspor tersebut mencapai sekitar US$4,09 miliar pada tahun 2017, sedangkan tahun sebelumnya sebesar US$3,78 miliar.
Nilanto menyebutkan, ada dua hal yang memengaruhi peningkatan nilai ekspor, yakni faktor dalam negeri dan luar negeri. Untuk dalam negeri, strateginya ialah melihat negara tujuan ekspor pasti memiliki berbagai macam persyaratan. Contohnya, Amerika, Jepang, Uni Eropa, dan Cina. AS punya ketentuan yang diatur oleh foreign direct investment (FDI) otoritas pangan. Artinya, produk-produk yang akan diekspor harus memenuhi standar kualitas negara tujuan ekspor.
Adapun strategi yang ke luar berkaitan dengan bea ekspor. Bea ekspor produk perikanan Indonesia sangat besar ke Uni Eropa bila dibandingkan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Timor Leste, Papua Nugini, dan Filipina bisa menikmati tarif nol persen untuk masuk ke Uni Eropa. Sedangkan, Indonesia harus membayar bea ekspor rentang 17%—24%.
Itulah pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah dalam ranah G to G. Kabarnya Kementerian Perdagangan sedang melakukan perundingan terkait dengan free trade agreement (FTA) atau perjanjian perdagangan bebas.
Sektor perikanan memang diharapkan dapat menjadi keunggulan Indonesia. Apalagi, sudah ada tekad untuk jadi poros maritim. Namun, investasi di sektor perikanan tidak semenarik sektor-sektor lainnya. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) di sektor perikanan mencapai Rp22,6 miliar pada kuartal II tahun 2017. Nilai investasi tersebut untuk menggarap 9 proyek. Adapun penanaman modal asing (PMA) untuk sektor ini senilai US$3,6 juta untuk 58 proyek. Investasi sektor perikanan memang besar. Pengusaha perikanan, Witjaksono, menyebutkan pihaknya pernah merogoh kantong sekitar Rp1 triliun untuk cold storage yang dibangun dengan kapasitas 25 ribu ton. Tidak murah, demikian komentar Witjak.
Lantas, bagaimana dengan produksi perikanan Indonesia. Data produksi perikanan nasional yang berasal dari perikanan laut tangkap maupun budidaya menunjukkan tren peningkatan. Perikanan laut berproduksi lebih dari 6 juta ton, sedangkan perikanan budidaya memproduksi lebih dari 16 juta ton pada tahun 2016. Terlepas terjadi pertumbuhan, beberapa catatan pokok sektor perikanan yang bisa terus ditingkatkan harus dilakukan.
Produksi perikanan Indonesia masih menghadapi permasalahan pokok infrastruktur yang berdampak pada segi daya saing. Untuk perikanan budidaya, Handri mengatakan biaya sektor perikanan itu mahal karena infrastruktur di desa belum memadai, sedangkan pasar pengelolaannya di tempat lain. Hal tersebut berdampak pada biaya angkut. Belum lagi persoalan selisih harga yang tinggi antara di pembudidaya dan bakul. Alhasil, daya saingnya rendah.
Dalam gambaran lebih besarnya, Witjaksono menandaskan harus adanya blueprint yang jelas. “Buktinya belum jelas. Misalkan, peralihan kapal harus melibatkan banyak pihak, tidak bisa KKP sendiri menyelesaikan,” kata Witjak. Begitu pula saat merespons ilegal fishing. Pascapenangkapan dan pengambilalihan kapal ilegal fishing tersebut harus ada aksi lain yang dapat memberikan manfaat lebih besar. Salah satunya, kapal tersebut bisa dialihfungsikan, seperti dijadikan kapal wisata. Lumayan kalau ada 4000 kapal wisata.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Arif Hatta
Editor: Ratih Rahayu