Anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka mengatakan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN dikhawatirkan bisa membebani kinerja holding Badan Usaha Milik Negara Minyak dan Gas Bumi (BUMN Migas) jika skema penggabungannya dengan PT Pertamina Gas (Pertagas) dilanjutkan.
Dalam catatan Rieke, PGN memiliki kinerja yang kurang menggembirakan terutama penurunan jumlah laba bersih dalam lima tahun terakhir, padahal jumlah aset perusahaan terus bertambah.
"Ada dua hal yang menurutnya menekan laba perusahaan, yakni kenaikan biaya operasi akibat pembayaran sewa fasilitas regasifikasi dan penyimpanan gas." katanya dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu (14/3/2018).
Seperti FSRU Lampung, itu tidak beroperasi dengan maksimal. Namun, PGN harus terus membayar sewa lebih dari US$90 juta.
Lanjutnya, adanya kesalahan strategi manajemen dalam penempatan investasi khususnya di sisi hulu oleh PT Saka Energi Indonesia, yang merupakan anak usaha PGN. "Investasi Saka Energi dalam pembelian blok migas pada 2013-2015, sampai saat ini masih mengalami kerugian rata-rata US$50 juta dalam lima tahun terakhir." katanya lagi.
Untuk itu, Rieke menyarankan agar dilakukan audit khusus dan tinjauan lapangan atas proyek milik PGN sebelum pemerintah meneruskan lebih jauh pembentukan holding BUMN Migas tersebut.
Sementara itu, menanggapi ancaman tersebut, Deputi Bidang Usaha Tambang, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menjelaskan penyebab merosotnya laba PGN dari penyewaan FSRU sudah dipertimbangkan oleh pemerintah dalam mengambil keputusan.
Lagipula menurut Fajar, masalah penurunan laba yang dialami PGN merupakan dinamika bisnis yang juga terjadi di perusahaan migas manapun termasuk Pertamina.
"Tidak ada memberatkan Pertamina. Sudah kita kaji, FSRU Lampung itu kasus lama. Laba turun itu faktor eksternalitis, Pertamina juga sama," ujar dia.
Namun terlepas daripada itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar mengatakan proses pembentukan holding BUMN yang tidak melalui mekanisme persetujuan DPR, melanggar ketentuan dari Undang-Undang BUMN.
"Harusnya melalui proses RAPBN dan dengan persetujuan DPR RI. Selain itu akibat hukum PP Holding ini sangat membahayakan bagi keuangan negara karena sebuah BUMN (PGN) menjadi berstatus tidak lagi BUMN," kata Bisman.
Sementara, Ketua Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng menyatakan akan memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait proses pembentukan holding BUMN Migas.
"Kami di Komisi XI bermitra dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), akan meminta penjelasan mengenai rencana holding," katanya.
Melchias menjelaskan, pemanggilan para pejabat Lapangan Banteng perlu dilakukan mengingat Kemenkeu merupakan perwakilan pemerintah yang memegang saham negara di seluruh perusahaan pelat merah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Vicky Fadil
Editor: Vicky Fadil