Penguatan sistem Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) membutuhkan konsolidasi antar-pelaku usaha, petani, dan pemerintah. Langkah ini diambil supaya implementasi ISPO dapat berjalan baik di lapangan serta mendorong peningkatam daya saing industri sawit di pasar global.
Deputi Koordinasi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) Musdalifah Machmud mengungkapkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) bisa rampung pada Mei 2018.
"Saat ini masih dalam tahap legal aspek di Kemenko Perekonomian. Mudah-mudahan perpres bisa keluar pada semester tahun ini," katanya.
Dia mengatakan, pemerintah juga sedang menyiapkan kelembagaan ISPO. "Nantinya, ada lembaga independen yang mengurusi ISPO. Dulunya, ISPO diatur dalam permentan, sekarang kita naikin ke perpres," ujar Musdalifah di Jakarta, Kamis (29/3/2018).
Menurutnya, Presiden Jokowi selama ini telah meyakinkan instansi lain bahwa komoditas sawit ini penting untuk negara bukan hanya Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
"Di tingkat antarmenteri saat ini sedang ada perbaikan setelah ada masukan dari para stakeholder. Saat ini masih dalam tahap konsolidasi antarmenteri," terangnya.
Dalam revisi ISPO, katanya, ada satu prinsip yang ditambahkan yakni dalam aspek transparansi.
"Kita masukkan sebagai salah satu item dan juga termasuk di dalamnya traceability. Ini kan sesuatu yang baru sebenarnya, tapi memang bagus juga karena kita kan selama ini belum begitu rapi. Nah, ini sekaligus kita rapikan data petani maupun perusahaan sawitnya," kata Musdalifah.
Dia menuturkan, perusahaan sawit mudah untuk didata, tetapi petani sawit itu sulit.
"Mereka memproduksi dan hasilnya masuk ke pabrik kelapa sawit (PKS). Nah, dari PKS ini akan kita lihat berapa masing-masing produksinya. Satu PKS kita lihat traceability. Lalu, berapa petani yang menyerahkan ke PKS. Ini lebih detail karena kita lacak pasokannya," katanya.
Kacuk Sumarto dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan pihaknya mendukung penuh penguatan ISPO. Oleh karena itu, perlu dibangun kolaborasi dengan semua pihak.
"Kita melakukan kolaborasi, advokasi, dan memperbanyak komunikasi dengan para pelaku usaha maupun pemerintah agar kita satu suara dalam ISPO," terangnya.
Dia berharap, sertifikasi ISPO digunakan untuk membentuk perilaku pelaku industri sawit.
"Untuk itu, sekarang tinggal proses mendapatkan sertifikasi ISPO dapat dipercepat meskipun negara konsumen meminta banyak standar, utamaya dari aspek lingkungan, kesehatan, hak asasi manusia," ujar Kacuk.
Namun, adanya unsur kepentingan dagang dan hegemoni negara maju mengakibatkan sawit diperlakukan tidak adil, seperti tindakan diskriminasi dan hambatan perdagangan. "Sehingga ISPO harus mampu menjawab tantangan itu," ungkap Kacuk.
Rino Afrino, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menambahkan, kunci sukses dari pelaksanaan ISPO harus ada kolaborasi antara pemerintah dengan pelaku usaha perkebunan sawit.
Dia menambahkan, kebijakan ISPO harus diikuti oleh terciptanya regulasi percepatan penyelesaian masalah yang dialami oleh petani. "Penyelesaian lahan di kawasan hutan, gambut, STDB, lahan gambut, akses pasar, dan permodalan," jelasnya.
Selain itu, katanya, kebijakan ISPO harus mendorong perbaikan tata kelola perkebunan, juga meningkatkan keberterimaan pasar dan peningkatan daya saing.
Rino juga mengusulkan mandatori ISPO petani dapat berjalan asalkan pemerintah juga membantu untuk menyelesaikan persoalan petani seperti kebun petani di kawasan hutan dan legalitas. Kalau memang belum siap, mandatori ISPO petani diundur dari tahun 2020 menjadi tahun 2025.
"Usulan kami, pemerintah membantu petani untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Untuk itu, mandatori dapat diundur menjadi 2025 setelah masalah petani dapat terselesaikan," ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Fauziah Nurul Hidayah