Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menilai ada yang salah dengan mekanisme penugasan Pertamina sebagai operator blok terminasi. Menurutnya hal tersebut akan mengganggu iklim investasi di sektor hulu migas.
“Mundurnya CNOOC karena mereka tidak tertarik untuk menjalin kerja sama dengan Pertamina. Selain itu, ada dua penyebab lain seperti kapasitas minyak yang sudah habis dan iklim investasi yang tidak menarik,” kata Kardaya dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Senin (9/4/2018).
Lanjutnya, iklim investasi migas di Indonesia semakin tidak kondusif dengan ditetapkannya Pertamina secara otomatis sebagai operator blok migas terminasi.
“Ini masih menjadi masalah ditambah lagi revisi Undang-Undang (UU) Migas masih belum jelas, akibatnya investor menunggu dan bisa beralih ketempat lain,” papar dia.
Sementara itu, Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) mengatakan penunjukkan Pertamina sebagai operator blok terminasi juga berpotensi merugikan BUMN.
“Kalau ternyata gagal mengelola blok tersebut, tentu akan mengganggu kinerja perseroan. Seharusnya mereka bisa menolak dan melakukan kajian dulu jika ditawarkan sebagai operator. Tapi kan sebagai BUMN, Pertamina mau tidak mau harus menerima perintah," jelasnya.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), meminta pemerintah untuk mengkaji kembali efektivitas kebijakan yang baru dibuatnya tersebut.
"Tujuan awal menjadikan Pertamina operator blok terminasi kan agar ada produksi yang konstan. Produksi seperti ini tentu harus dibarengi dengan injeksi kapital. Kalau blok itu tidak ekonomis lalu dibebankan semuanya ke Pertamina, maka kapital dia bisa habis," kata Fabby.
Ia juga mengatakan, tidak bisa dipastikan Pertamina bisa menjaga tingkat produksi blok migas yang dialihkan hak operatornya. Fabby mencontohkan, hal tersebut terjadi pada 2011 lalu saat blok West Madura Offshore (WMO) diambil alih PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dari CNOOC dan Kodeco.
Paparnya, ketika itu produksi minyak WMO anjlok dari rata-rata 14 ribu barel per hari (bph) menjadi hanya 1.200 bph. Padahal tahun itu, APBN berharap bisa mendapatkan uang hasil lifting sebanyak 20 ribu bph dari WMO. Sampai Oktober 2017 lalu tercatat, produksi minyak WMO baru menyentuh angka 7.500 bph.
Ia menilai, sebaiknya pemerintah melelang ulang blok-blok migas terminasi sehingga semua perusahaan bisa bersaing memperebutkannya berdasarkan asas keekonomian.
"Jangan menjadi negara yang semuanya ingin dikerjakan oleh BUMN. Investasi swasta juga perlu, tujuannya untuk membagi risiko karena industri migas ini high risk, high capital, jadi jangan semua risikonya dikasih ke Pertamina," tegas Fabby.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Vicky Fadil
Editor: Vicky Fadil