Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Telkom Harus Bertumbuh untuk Indonesia Digital

Oleh: Adler Haymans Manurung, Guru Besar Pasar Modal dan Perbankan, Doktor of Research in Management - Bina Nusantara University

Telkom Harus Bertumbuh untuk Indonesia Digital PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) | Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Awalnya, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) merupakan perusahaan yang sangat dikagumi oleh berbagai pihak. Perkembangan zaman dan teknologi membuat perusahaan ini tidak secemerlang sebelumnya. Krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1998 membuat perusahaan ini sedikit dipercaya untuk memperbaiki keuangan pemerintah dengan menjual saham anak perusahaannya kepada pihak lain, yaitu Singapura. Penjualan saham ini membuat Telkom sedikit agak susah bergerak karena ada kemungkinan mendapatkan hambatan atas aksi korporasi yang ingin dilakukan.

Adapun anak perusahaan tersebut, yaitu PT Telkomsel adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang telekomunikasi, bukan fixed line yang dikenal dengan GSM. Ternyata, Telkomsel sangat berkembang cepat, terutama pada perubahan teknologi terhadap telekomunikasi saat ini yang semuanya menggunakan GSM. 

Bila diperhatikan, bisnis yang digeluti Telkom ini umumnya harus masuk ke bisnis yang sangat menggunakan teknologi informasi, tetapi tidak bisa selalu terdepan. Ada kemungkinan disebabkan oleh tata kelola karena perusahaan ini 52,09% dimiliki pemerintah. Pengaruh kepemilikan pemerintah ini menyebabkan salah satu faktor yang membuat perusahaan tidak bebas untuk berkreasi dalam rangka bertumbuh. Bahkan, penentuan direksi bisa juga membuat perusahaan tidak mendapatkan pengelola perusahaan yang terbaik di negeri ini.

Telkom melakukan pencatatan saham di Bursa Efek Jakarta (saat ini menjadi Bursa Efek Indonesia) pada 14 November 1995 dan merupakan pencatatan pertama untuk bisnis telekomunikasi, sekaligus mencatatakan sahamnya di New York. Ketika masuk bursa, Telkom menjadi perusahaan yang menempati urutan pertama dalam kapitalisasi pasar karena tidak ada perusahaan yang bisa sebesar itu di BEI. Namun, pamor ini berkurang karena perkembangan waktu serta pengelolaan perusahaan. Telkom juga tidak tercatat lagi sebagai saham yang ditransaksikan di Bursa New York saat ini.

Ketika saham Telkom ini dicatatkan di BEI dan NYSE, banyak pihak melakukan transaksi saham ini dengan memperhatikan harga saham ini di NYSE, akibatnya saham ini sangat likuid. Setiap hari banyak pedagang pasar saham memperhitungkan nilai kurs dolar AS terhadap rupiah dan jumlah saham untuk mendapatkan harga saham yang sebenarnya. Padahal, harga saham itu sebenarnya datang dari fundamental perusahaan itu sendiri, yang artinya datang dari Indonesia sendiri.

PT Telkom ini awalnya merupakan perusahaan primadona di Bursa Efek Indonesia (BEI) karena memiliki kapitalisasi pasar yang cukup besar (nomor satu), tetapi beberapa tahun terakhir tidak lagi menjadi perusahaan terbesar di BEI. Belakangan ini menjadi perusahaan pada urutan bukan primadona lagi. Salah satu contoh, Telkom seharusnya sudah masuk ke perusahaan yang bergerak dalam bidang financial technology (fintech). Sistem pembayaran dengan menggunakan teknologi seharusnya sudah dirambah perusahaan ini, tetapi bidang ini sudah lebih dulu dilakukan oleh perusahaan lain.

Kelihatannya, perusahaan sangat lambat dalam mengembangkan teknologi untuk kepentingan Indonesia. Bahkan, banyak perusahaan lain yang mendapatkan keuntungan dari aktifitas Telkom, seperti membangun infrastruktur untuk kepentingan Telkom dan anak usahanya. Oleh karenanya, Telkom perlu berpikir ulang dan merancang strategi yang lebih unggul untuk membuat perusahaan lebih maju. Tidak salah, jika perusahaan memperbaiki strategi dalam jangka pendek dengan memperhatikan perkembangan teknologi yang ada.

Aset perusahaan pada tahun 2012 sebesar Rp111,37 triliun, meningkat menjadi Rp128,56 triliun pada akhir tahun 2013. Pada akhir tahun 2014 meningkat lagi menjadi Rp141,82 triliun, lalu menjadi Rp166,17 triliun pada akhir tahun 2015. Selanjutnya, pada akhir tahun 2016 meningkat menjadi Rp179,61 triliun dan menjadi Rp190,5 triliun pada akhir September 2017. Perusahaan belum mempublikasikan untuk periode akhir 2017. Perusahaan mengalami pertumbuhan peningkat aset selama periode 2012 sampai dengan 2016 secara rata-rata sebesar 16,69% per tahunnya. Untuk periode 9 bulan pertama di 2017, pertumbuhan aset hanya 6,06%. Pertumbuhan aset perusahaan ini cukup lumayan dalam rangka untuk bertumbuh.

Investor yang selalu memperhatikan perusahaan ini akan selalu memperhatikan tingkat pengembalian ekuitas, return on equity (ROE), yang menceritakan tentang hasil yang didapat perusahaan dengan ekuitas yang disediakan perusahaan. ROE perusahaan sebesar 24,9% pada periode 2012; sebesar 23,7% pada periode 2013; sebesar 21,4% pada periode 2014; sebesar 20,6% pada periode 2015; dan 22,9% pada periode 2016.

Perusahaan mempunyai ROE yang cukup besar yaitu di atas 20% selama periode 2012 sampai dengan 2017 yang berarti bahwa perusahaan memberikan hasil yang cukup baik sekali. Apabila nilai ROE ini dibandingkan dengan ekspektasi atas investasi berinvestasi maka investasi pada Telkom memberikan hasil yang cukup baik. Bahkan, bisa dikatakan investasi pada Telkom ini lebih tinggi dari perusahaan lain, termasuk kepada perbankan.

Cukup menarik untuk dianalisis bahwa perusahaan ini mempunyai rasio EBITDA terhadap biaya pendaanaan. Adapun rasio ini adalah besaran EBITDA yang diperoleh untuk membayar biaya pendanaan yang dimiliki perusahaan. Rasio ini sebesar 19,3% pada periode 2012; sebesar 27,8% pada periode 2013; sebesar 25,3% pada periode 2014; sebesar 20,7% pada periode 2015; serta 21,2% pada periode 2016. Data ini juga menceritakan bahwa perusahaan tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk membayar biaya dana yang dimiliki perusahaan. Artinya, perusahaan harus mencari dana baru setiap tahunnya untuk bisa membayar bunga yang harus dibayar setiap tahunnya.

Tampaknya, perusahaan harus menambah modal untuk membayar hutang yang sudah cukup besar agar terjadi pembayaran bunga yang kecil dan dapat dilakukan dari hasil laba sebelum bunga dan pajak. Sebaiknya, perusahaan mencari alternatif pendanaan lain bila secara hutang (yang memakai bunga) tidak lagi dapat mendukung. Pendanaan dengan obligasi konversi perlu juga dipikirkan dan juga opsi menerbitkan waran untuk pendanaan jangka panjang.

Salah satu aspek penting dalam menilai saham perusahaan adalah dengan melihat prospek perusahaan dan memperhatikan kinerja perusahaan di masa mendatang.

Telkom diestimasikan memiliki pendapatan sekitar Rp129 triliun pada tahun 2017 dan meningkat sekitar 10,85% menjadi Rp143 triliun pada tahun 2018. Lalu, meningkat lagi sebesar 9,09% menjadi sekitar Rp156 triliun pada tahun 2019. Angka pendapatan perusahaan akan memberikan estimasi laba bersih perusahaan sebesar Rp22 triliun atau besaran net profit margin (NPM) sebesar 17,05% untuk periode tahun 2017. Etimasi laba bersih juga meningkat menjadi Rp26 triliun dengan NPM sebesar 18,18% untuk periode 2018. Selanjutnya, estimasi laba bersih terus mengalami kenaikan menjadi Rp28,5 triliun dengan net profit margin sebesar 18,27% pada periode 2019. Angka tersebut menyatakan bahwa terjadi efisiensi yang dilakukan dan mengakibatkan laba bersih mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Biasanya, kepantasan harga sebuah saham industri, seperti Telkom ini, dapat dilihat menggunakan price earning ratio (PER), bahkan bisa menggunakan ukuran enterprise value (EV) terhadap EBITDA. Tulisan ini hanya menggunakan PER saja. Angka-angka laba bersih tersebut memberikan PER sebesar 15,43x pada tahun 2018 dan 14,12x untuk tahun 2019. Artinya, dana investor akan kembali selama 15,43 tahun untuk periode tahun 2018 dan 14,12 tahun untuk periode 2019. Angka ini cukup lama dan bila dihitung earnings yield maka hasilnya 6,48% untuk periode 2018 dan 7,08% pada 2019. Angka ini masih di atas yield dari investasi pada deposito, tetapi dengan risk premium yang sangat kecil, sementara risk premium diharapkan melebihi 3%.

Namun, perusahaan yang dimiliki pemerintah merupakan salah satu keuntungan untuk melakukan investasi pada saham ini dan bisnisnya bisa dikatakan sangat baik. Para analis memperkirakan harga saham ini di sekitar Rp4.750, tetapi saat ini harga di sekitar Rp4.050. Melihat rentang harga yang ada maka saham ini bisa dikoleksi, tetapi jangan lupa memperhatikan data-data yang diuraikan sebelumnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: