Satu dekade terakhir, sawit menjadi penyumbang devisa terbesar, menggusur peran ekspor minyak dan gas bumi. Namun, peran itu sepertinya bakal disalip oleh sektor pariwisata. Menteri Pariwisata, Arief Yahya, memperkirakan pada 2019, sektor pariwisata bakal menjadi penghasil devisa terbesar. Pada 2017 lalu, posisi pariwisata nomor dua penghasil devisa dengan nilai US$17 miliar atau terpaut US$5,9 miliar dari sawit yang menyumbang US$22,9 miliar.
Bukan mustahil, proyeksi Kemenpar bisa terwujud. Hal ini didasarkan pada fakta lapangan bahwa banyak sekali lahan sawit—khususnya milik petani sawit—yang menua dan mengalami penurunan produktivitas sehingga perlu replanting dengan benih unggul. Selain itu, daftar panjang persoalan yang membelit di bisnis sawit begitu panjang. Infrastruktur jalan dan pelabuhan masuk daftar keluhan para pelaku sawit. Itu belum termasuk hidden cost yang tidak sedikit bilangannya.
Sementara itu, sawit yang dipasarkan ke negara tujuan ekspor, tidak sedikit, mendapat gempuran dari mitra dagang dengan berbagai macam alasan dan sebab. Di Uni Eropa, misalnya, minyak sawit Indonesia harus dikenakan tarif bea masuk (BM) tinggi dengan alasan politis guna melindungi petani minyak kedelai (soybean oil) mereka. Untuk menggali apa sesungguhnya persoalan yang dihadapi pelaku industri sawit di dalam negeri, tim majalah Warta Ekonomi mewawancarai Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, di Kantor PT Astra Agro Lestari (AAL) Tbk di Jakarta, beberapa waktu silam. Ia yang juga menjabat Wakil Presiden Direktur di PT AAL melontarkan berbagai usulan agar produk unggulan sawit ini tidak lagi mengulangi sejarah kegagalan dua produk andalan sebelumnya, karet dan gula. Berikut petikan percakapannya.
Bisa dijelaskan kondisi industri kelapa sawit di Indonesia saat ini?
Kalau sawit ini sebenernya begini, lawannya, seperti Malaysia, Thailand, Afrika, dan lainnya. Tapi kita, kan, tidak hanya sama sawit, kita mesti harus bersaing dengan nonsawit. Jadi, kita itu persaingannya bukan hanya dengan sawit, justru dengan nonsawit. Kalau mau jujur dalam hal level of competitiveness, Indonesia kalah dari Malaysia. Kenapa? Infrastruktur di Malaysia memang lebih bagus sehingga logistic cost lebih murah. Kondisi keamanan lebih baik sehingga tidak perlu biaya pengamanan seperti di sini. Itu yang menyebabkan Malaysia lebih punya keunggulan.
Sekarang kita bandingkan dengan yang nonsawit seperti kedelai, misalnya, apakah dengan kedelai kita hebat, belum tentu. Pasalnya, kita selalu membanggakan diri, bahwa sawit produktivitasnya 10 kali lipat dari kedelai, yakni sawit bisa menghasilkan 4 ton per hektar/tahun, sedangkan kedelai hanya 0,4 ton per hektar/tahun. Jadi, sawit boleh dibilang 10 kali lipat kedelai. Akan tetapi, kita mesti harus lebih detail lagi. Misalnya, production cost kelapa sawit hampir sama dengan atau tidak jauh berbeda dengan kedelai (soybean oil).
Kalau begitu, apa maknanya?
Begini, untuk memproduksi satu kilogram minyak sawit dan minyak kedelai itu, biayanya sama. Akan tetapi, harga jual minyak sawit jauh di bawah harga jual minyak kedelai. Hal ini berarti termasuk mengancam daya saing. Di sinilah kita mesti waspada. Mengapa begitu? Di perkebunan kedelai itu, mereka sudah menggunakan teknologi dan inovasi untuk bagaimana melakukan efisiensi.
Jadi di kedelai itu, walaupun produktivitas kedelainya itu rendah, tapi produktivitas tenaga kerjanya itu tinggi, sehingga cost-nya efisien. Kita produktivitas tinggi, tetapi ongkos produksi mahal karena tenaga kerja kita mahal. Tenaga kerja kita setiap tahun naik 10%. Kalau itu 10 tahun, kan, sudah double. Jadi cost kita sudah double setiap 10 tahun. Pertanyaannya, harga apakah double selama 10 tahun? Ini tidak banyak orang lihat, jadi production cost sawit itu setiap 10 tahun naik 2 kali lipat. Akan tetapi, harga sawit sepuluh tahun belakangan ini trennya turun. Ini mesti harus disadari bahwa ada ancaman yang lebih berat ke depan itu.
Apakah situasi ini disadari pelaku industri sawit?
Saya harap disadari. Memang, dulu profit margin sawit itu terbilang sangat mewah, yakni sebesar 40%. Makanya orang terlena dengan profit margin yang begitu tinggi sehingga terjadilah inefisiensi. Saat ini, bisa dapat profit margin 10% sudah bagus.
Apakah level margin 10% masih manageable bagi pelaku industri sawit, lantas sampai di level berapa "lampu kuning" menyala?
Saya sendiri sebenarnya tidak tahu berapa average national production cost sawit kita. Ketika harga CPO di pasar internasional mendekati level US$500 per ton, semua pihak (termasuk BUMN) mulai berteriak, mengalami kerugian. Jadi, di level harga itu banyak pihak sudah kelimpungan. Itu artinya, ketika harga sawit menyentuh level US$500 per ton, merupakan angka kritikal. Nah, dari sini kita bisa memperkirakan bahwa biaya produksi sawit di dalam negeri itu di sekitar angka itu.
Kalau di negara produsen sawit lainnya (Malaysia, Thailand, dan Afrika) harga CPO US$500 per ton, terbilang masih aman-aman saja?
Negara produsen sawit seperti Malaysia kira-kira biaya produksinya di level antara US$300—US$400 per ton. Yang menjadi pertanyaan, kenapa biaya produksi Negeri Jiran bisa lebih murah, padahal gaji buruh di sana lebih tinggi dari dalam negeri? Persoalanya, cost structure kelapa sawit di Malaysia tidak dibebani aneka rupa biaya-biaya siluman (hidden cost). Jadi, sawit menghadapi situasi kompetisi persaingan yang sangat ketat. Kalau kita tidak melakukan sesuatu, kita juga akan terlibas oleh daya saing itu.
Bisa dijelaskan yang Anda maksud “sesuatu” yang mesti dilakukan itu apa?
Begini, kita mesti increase productivity dan melakukan efisiensi besar-besaran. Productivity itu sejauh mana kita memanfaatkan teknologi sehingga kita bisa meng-catchup dengan perkembangan demand. Hal ini, setidaknya agar biaya tenaga kerja yang terus naik ini, kita mesti disiasati. Itu perlu kreativitas, inovasi, dan teknologi di tingkat perusahaan. Namun, satu hal yang sebenarnya perlu adalah kesadaran pemerintah. Ketika Presiden Jokowi memerintahkan mengurangi hambatan dalam investasi maupun ekspor, harapannya semua itu bermuara pada deregulasi.
Apakah deregulasi yang dikeluarkan pemerintah berdampak terhadap industri sawit?
Silahkan dicek ke pelaku industri lain di luar kelapa sawit, apakah deregulasi tersebut dirasakan manfaatnya oleh mereka. Harapan pelaku industri seperti sawit agar janganlah pemerintah asyik dengan dirinya sendiri melakukan berbagai deregulasi yang kurang dirasakan pelaku industri. Padahal, arahan Presiden Jokowi sudah jelas memangkas hambatan investasi dan ekspor. Dalam konteks sawit itu, sebaiknya pemerintah tidak sebatas mengutak-atik regulasi saja, tetapi juga tentang bagaimana mengatasi berbisnis itu menjadi lebih efisien. Pasalnya, berusaha di Indonesia itu mahal. Namun, agak susah menjelaskannya.
Bisa diperjelas yang dimaksud berusaha di Indonesia itu mahal?
Di Indonesia itu ada yang namanya hidden cost. Tidak bisa dipungkiri, hidden cost itu tetap saja ada dan siginifikan (besarnya-red.).
Anda punya angka besaran persisnya?
Saya sih tidak bisa menyebutkan, itu suatu angka yang cukup berarti. Contoh begini, biaya sosial, biaya keamanan, dan biaya perizinan, semua itu tidak muncul di neraca, tetapi itu ‘kan ada, kenapa mesti keluar biaya itu, kalau tidak, tidak bisa jalan bisnisnya. Pemerintah bilang itu tidak ada dalam aturan, tetapi dalam praktiknya tidak bisa dihindari. Namun, kalau tidak dikeluarkan, salah-salah bisnis tidak bisa jalan.
Hidden cost menjadi salah satu penyebab merosotnya tingkat daya saing sawit Indonesia?
Pastilah. Hal ini membuat logistic cost jadi meninggi. Apalagi dengan kondisi pelabuhan yang belum baik. Saat ini, Indonesia baru punya dua pelabuhan untuk urusan sawit seperti Belawan (Medan) dan Dumai (Riau). Banyak dari pelaku industri sawit yang memakai pelabuhan kecil dan pelabuhan khusus karena wilayah operasi kebun sawit yang banyak di pedalaman. Jadi, hasil panen sawit mesti dibawa dari satu hub ke hub lain dengan memakai kapal tongkang lalu dipindahkan ke kapal besar. Kondisi ini bikin logistic cost jadi mahal.
Jadi, Anda berharap peran pemerintah dalam memangkas logistic cost yang mahal tadi?
Kami berharap pemerintah bisa membantu persoalan di infrastruktur, hidden cost, dan aspek-aspek lain di lingkungan perusahaan yang membuat biaya jadi mahal. Kami berharap pemerintah mengajak private sector guna membahas persoalan ini secara lebih terbuka. Janganlah membicarakannya hanya di kulitnya saja atau asyik bicarakan makronya saja. Persoalan yang dihadapi pelaku industri itu bukan di makro, tetapi situasi di mikro.
Selama ini pelaku industri sawit tidak pernah berdialog secara jujur dan terbuka dengan pemerintah terkait persoalan-persoalan tersebut?
Belum. Justru kalau di daerah itu lebih parah lagi karena pemerintah daerah selalu berusaha bikin peraturan daerah yang notabene itu selalu menyulitkan.
Bisa diberi contoh?
Ada sejumlah daerah yang mengutip sekian rupiah dari hasil panen sawit, misalnya, Rp5 per kilo, Rp10 per kilo, dan Rp15 per kilo. Dalam hal mengutip pungutan itu bunyi peraturan daerah (Perda) “Sumbangan Pihak Ketiga”. Sumbangan Pihak Ketiga ini dalam rangka mengais pendapatan asli daerah (PAD). PAD yang paling mudah itu menarik pungutan. Semestinya, pemerintah pusat merespons ketika ada pungutan seperti hal itu. Bahwa tidak bisa semua hal ditarik pungutan karena hal itu diatur dalam undang-undang.
Kalau pihak industri keberatan dengan pungutan itu dan menolaknya?
Wah, kalau tidak dipenuhi bisa dipersulit seperti dalam hal perizinan dan macam-macam. Apabila persoalan ini dilihat dalam kaca mata yang lebih luas akan menggerus daya saing produk sawit. Pasalnya, produk sawit dibebani berbagai biaya sehingga harga jualnya menjadi mahal. Jadi, kalau kita mau bicara bagaimana meningkatkan ekspor sawit nasional, hal-hal seperti itu yang mesti dibereskan.
Gapki tidak pernah membuat perda-perda yang dianggap membebani dunia usaha?
Kami pernah membuat list itu, mungkin ada 52 perizinan yang harus dipenuhi mulai dari perda hingga aturan di pemerintah pusat. Peraturan yang begitu panjang ini memangkas daya saing sawit di pasar global yang semakin kompetitif dan berat.
Oke, persoalan apa lagi yang bikin sawit nasional itu menjadi kehilangan daya saingnya di pasar global?
Nah, itu kan baru persoalan yang membelit industri sawit di dalam negeri. Kalau kita bicara di pasar internasional, ada dua hal yang menjadi pokok sorotan; pertama, minyak kedelai menjadi kompetitor minyak sawit. Minyak kedelai ini secara cost performance lebih efisien dan harga pasar yang lebih tinggi. Kedua, minyak kedelai (soybean) itu diproteksi oleh negaranya dalam bentuk hambatan perdagangan terhadap pesaingnya. Bahkan, ada negara di Eropa dan Amerika Serikat yang memberi subsidi ke petani minyak kedelai. Ini menyangkut konstituen politik.
Bisa lebih spesifik hambatan perdagangan yang dikenakan terhadap minyak sawit yang masuk Eropa dan Amerika Serikat?
Hambatan itu bisa berupa pengenaan tarif bea masuk yang tinggi, bisa berupa nontarif, dan bisa berupa kampanye negatif itu kan semua dalam bentuk hambatan atau dalam bentuk sertifikasi. Misalnya, ada negara yang memberlakukan aturan bahwa minyak sawit harus memiliki sertifikasi A, B, C, dan seterusnya plus memberlakukan bea masuk tinggi diimbuhi lagi dengan praktik kampanye hitam (black campaign) terhadap produk sawit yang didanai oleh pemerintahnya. Ada juga negara yang melancarkan tuduhan minyak sawit melakukan dumping. Yang jelas bermacam-macam serangan ke kelapa sawit guna melemahkan daya saing sawit kita.
Apa yang dilakukan Gapki menghadapi semua tekanan eksternal tersebut?
Kami di Gapki bersama dengan pemerintah mencoba untuk meminimalisir hambatan di negara tujuan ekspor.
Di setiap negara tujuan ekspor, persoalan yang dihadapi berbeda-beda. Di Jerman, misalnya, memberlakukan sertifikasi. Namun, ada beberapa negara Eropa lainnya yang justru mengenakan tarif bea masuk (BM) yang tinggi. Ada lagi negara Eropa yang gencar melakukan kampanye hitam. Ada negara yang pakai labelling (No Palm Oil), seperti di Perancis dan Italia. Pengenaan label ini supaya konsumen di sana mengetahui bahwa bahan pangan tersebut tidak memakai minyak sawit.
Sepertinya perlu strategis khusus untuk menghadapinya?
Betul. Nah, berbagai macam tadi kan perlu specific message di tiap negara tujuan ekspor. Jadi ada yang urusannya bea masuk, ada yang urusannya serfitikasi, ada yang urusannya larangan total, ada yang urusannya tarif dumping, ada yang urusannya black campaign, dan macam-macam. Nah, itu yang perlu diselesaikan secara spesifik.
Bisa diberi contoh specific message yang dimaksud?
Begini, ketika produk minyak biodiesel Indonesia diganggu di Eropa, kita (pemerintah dan pelaku industri sawit) melawan di World Trade Organization (WTO), dan kita menang. Akan tetapi, mestinya upaya perlawanan seperti itu dilakukan lebih cepat dan massive lagi. Secara sporadis sudah ada upaya ke arah itu, tinggal bagaimana langkah perjuangan itu lebih solid dan terintegrasi baik antara elemen di pemerintah (Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Keuangan) dan pihak pelaku industry.
Sawit sebagai komoditas strategis penghasil devisa terbesar membutuhkan sokongan semua elemen anak bangsa, yakni pemerintah, parlemen, media dan pelaku usaha.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu