Menurut laporan ICAEW Economic Insight: South-East Asia terbaru, perekonomian Asia Tenggara diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang melambat pada tahun 2018 meski mengalami awal yang kuat untuk tahun ini. Pertumbuhan di kawasan ini diperkirakan mencapai 4,9% dari 5,3% di 2017.
ICAEW Economic Advisor & Oxford Economics Lead Asia Economist, Sian Fenner, mengatakan, perkiraan tersebut sebagai hasil dari pertumbuhan ekspor yang moderat di seluruh kawasan dari akselerasi yang tajam pada tahun 2017.
"Kami memperkirakan penurunan moderat dalam pertumbuhan PBD Asia Tenggara menjadi 4,9% pada 2018. Perlambatan diperkirakan akan meluas dan hanya Indonesia yang tumbuh lebih cepat dari tahun 2017,” tutur Sian dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (7/6/2018).
Sementara itu, pertumbuhan ekspor di seluruh negara diperkirakan akan menurun dari performa yang kuat di tahun 2017 lalu. Hal ini mencerminkan permintaan impor Tiongkok yang lebih dikit dan normalisasi dalam siklus elektronik global.
Tidak seperti AS dan Eropa, Asia memiliki awal 2018 yang menjanjiikan, dengan ekonomi Asia Tenggara yang berkembang sebesar 5,2% year on year (YoY), sedikit lebih lemah dari kuartal sebelumnya, yaitu 5,3%.
Singapura dan Filipina keduanya mencatat percepatan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), sementara momentum menurun di Vietnam, Thailand, Indonesia dan Malaysia, meskipun pertumbuhan di negara-negara ini tetap di atas rata-rata pada tahun 2012/16.
Di sisi domestik, prospek tetap positif. Kondisi pasar tenaga kerja yang membaik serta meningkatnya upah di banyak negara Asia Tenggara akan menjadi pertanda baik untuk konsumsi. Momentum dari pemulihan yang kuat dalam investasi swasta (tidak termasuk konstruksi) di sebagian besar negara Asia Tenggara pada tahun 2017 diperkirakan sebagian akan berpindah ke tahun 2018.
Pengecualian untuk hal ini adalah kewaspadaan untuk investasi di Malaysia menyusul kemenangan Pemilu baru-baru ini oleh partai koalisi Mahathir dan peninjauan ulang yang direncanakan atas semua proyek infrastruktur yang besar.
Sementara itu, kondisi moneter masih mendukung meskipun mengalami pengetatan. Sebagian besar bank sentral Asia Tenggara telah mulai mengetatkan kebijakan moneter. Hal ini akan menyebabkan biaya pembayaran utang yang lebih tinggi.
"Namun, suku bunga perlu naik jauh lebih cepat daripada proyeksi kami saat ini untuk hutang dapat secara bermakna merusak pertumbuhan di seluruh negara," imbuh Mark.
Sebaliknya, mengingat tekanan inflasi yang terkandung, sebagian besar bank sentral diperkirakan akan pasif untuk sisa tahun ini dengan tingkat suku bunga yang tertinggal dari Federal Reserve AS. Di sisi lain, ada risiko lokal bahwa Indonesia akan menaikkan suku bunga lagi untuk mendukung rupiah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu