Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

AMDK Tak Layak Masuk Definisi Layanan Air Minum

AMDK Tak Layak Masuk Definisi Layanan Air Minum Salah satu gerai Hero Supermarket di Jakarta. | Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG) melakukan kajian mengenai aspek-aspek krusial dalam Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang akan dibahas di DPR. Menurut kajian CRPG, AMDK tidak layak masuk dalam definisi layanan air minum.

Direktur CRPG, Mohamad Mova Al Afghani, memaparkan terdapat pasal-pasal dalam RUU Sumber Daya Air yang perlu disempurnakan, yaitu pasal 47 dan pasal 51. Pasal 51 mengelompokkan air minum dalam kemasan (AMDK) ke dalam kelompok air minum. Hal tersebut jelas tidak tepat.

"Kita menguji penjelasan pasal 51 dengan 4 kriteria dan menyimpulkan bahwa AMDK tidak layak masuk dalam definisi layanan air minum. Kriteria tersebut adalah pandangan Mahkamah Konstitusi, Parameter HAM, pendekatan teori regulasi, dan disinsentif bagi air perpipaan," kata Mova dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (8/6/2018).

Mahkamah Konstitusi menetapkan air minum tidak boleh mahal dan perusahaan tidak boleh mengambil keuntungan. Bila merujuk pada parameter HAM, AMDK bukanlah air minum karena tidak memenuhi aspek kontinuitas, keterjangkuan harga, keterjangkauan fisik, serta kuantitas. 

Berdasarkan pendekatan teori regulasi, penetapan biaya air minum diatur oleh pemerintah, sementara AMDK ditentukan bebas oleh pihak swasta. Selain itu, terdapat juga konsekuensi negatif definisi air minum adalah AMDK, yaitu akan terjadi penurunan investasi untuk perpipaan dan peningkatan investasi untuk AMDK serta pertambahan sampah plastik. 

Air bersih dan AMDK adalah dua hal yang berbeda. Di Indonesia, akses masyarakat terhadap air bersih disediakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Namun, air PDAM yang mengalir ke rumah konsumen belum memenuhi kualitas air yang dapat langsung diminum. Akibatnya, pilihan air minum oleh masyarakat jatuh pada air tanah atau air PDAM yang dimasak atau mengonsumsi air minum dalam kemasan (AMDK).

Dengan mendefinisikan air minum mencakup AMDK dan menyatukan pengaturannya dalam pasal-pasal mengenai pelayanan air, RUU SDA akan mengakibatkan masyarakat tidak memiliki pilihan dalam memenuhi kebutuhan air minum. Karena itu, AMDK seharusnya dicoret dari definisi air minum dan tidak diatur dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai pelayanan air.

Menurut Moya, RUU SDA selayaknya memperhatikan dengan seksama alasan-alasan  yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam pembatalan UU No. 7/2004, antara lain soal hak rakyat atas air yang hendaknya dipahami sebagai hak mendapatkan akses air bersih guna menjalankan kehidupan sehari-hari yang layak seperti mandi, makan, minum memasak, mencuci dan sanitasi.

"Di sinilah negara berkewajiban untuk menyediakan kebutuhan minimum masyarakat atas air bersih melalui SPAM. Karenanya, pengelompokan AMDK dalam pengertian air minum dalam pasal 51 merupakan hal yang keliru," ujar Mova.

Tim Kajian Publik Apindo, Karina, menanggapi bahwa RUU SDA terkesan sarat kepentingan karena industri terkesan harus membeli air dari pemerintah. Tidak ada satupun industri yang tidak memerlukan air sebagai bahan baku maupun kebutuhan air dalam proses produksi, seperti kebutuhan air untuk pencucian di industri tekstil, pulp & paper, dan sawit.

"Kebijakan ini mempersulit industri berkompetisi dengan produk-produk impor, sementara di sisi lain kita didorong untuk ekspor. Akibatnya, tekanan tidak hanya dari segi biaya energi, namun ditambah dengan biaya air sebagaimana diatur dalam RUU ini. Karena di luar pajak air, industri dikenakan lagi 10% untuk konservasi dan bank garansi. Pasal-pasal ini menurut saya harus dianulir," jelas Karina. 

Pengajar Hidrologi dan Pengelolaan DAS Fakultas Kehutanan IPB, Nana M. Arifjaya, mengatakan RUU SDA lebih banyak mengatur hal-hal teknis, sementara materi yang bersifat sustainable masih kurang. Seharusnya pemerintah dapat membuat draf yang lebih bagus mengingat UU SDA ini bicara tentang konsep sustainability berkelanjutan.

"Memang bencana-bencana berkelanjutan yang berkaitan dengan kekeringan, mengancam Indonesia. Namun faktanya Indonesia adalah daerah yang diapit 2 samudra dan terdapat gunung di tengah-tengahnya sehingga potensi air melimpah. Seharusnya, industri dapat berkembang. Dalam konteks pengelolaan sumber daya air berkelanjutan, pengelolaan ini harus jelas dan tegas," tutur Nana.

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang (UU) tentang Sumber Daya Air (SDA) Nomor 7 Tahun 2004  pada 18 Februari 2015. Dalam pembatalan tersebut, MK menetapkan 6 prinsip dasar yaitu tidak mengganggu, mengesampingkan, dan meniadakan hak rakyat atas Air; perlindungan negara terhadap hak rakyat atas Air; kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia; pengawasan dan pengendalian oleh negara atas Air bersifat mutlak; prioritas utama penggunaan sumber daya air untuk kegiatan usaha diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa; dan pemberian Izin Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan Air.

Pada awal tahun 2017, DPR berinisiatif untuk menyusun Rancangan Undang-Undang untuk mengatur tata kelola air berupa RUU Sumber Daya Air (SDA). Penyusunan RUU ini mengacu pada 6 prinsip dasar MK yang ditetapkan MK pada saat pembatalan UU SDA No. 7 Tahun 2004. Selanjutnya, Kementerian PUPR berperan menjadi leading dalam pembahasan RUU SDA ini.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: