Rancangan Undang-Undang (RUU ) Sumber Daya Air (SDA) diharapkan bisa disahkan sebelum berakhirnya masa tugas DPR RI pada Oktober 2019 mendatang. Hal itu disebabkan pentingnya keberadaan payung hukum yang mengatur SDA pasca pembatalan semua pasal terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari 2015.
Dalam sebuah acara Diskusi Pakar yang diadakan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan dengan TERRA Simalem, Rabu, 17 Juli 2019, Direktur Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) Mohamad Mova Al’Afghani melihat masih banyaknya kekurangan dari RUU SDA ini. Di antaranya soal pemenuhan hak masyarakat atas air, dan jaminan kualitas air untuk kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu juga soal izin swasta untuk SPAM.
“Jika itu tidak dihilangkan, ini akan menjadi beban APBN dan APBD. Apa pemerintah mampu,” ucapnya, Rabu (17/7/2019).
Baca Juga: DPR Janji Tuntaskan RUU SDA Oktober 2019
Hal lainnya adalah soal sanitasi yang di RUU SDA yang belum dianggap sebagai layanan. Sanitasi masih dianggap perlu hanya supaya airnya tidak tercemar saja.
Namun, kata Mova, karena DPR kemungkinan akan mengundangkan RUU SDA ini sebentar lagi, untuk mengimbangi kekurangan yang ada di RUU SDA itu, yang perlu dilakukan adalah
memperjuangkannya di peraturan pelaksanaannya nanti.
“Itu berarti ruangan permainan kita berpindah kepada peraturan pelaksanaannya atau PP-nya. Karena saya lihat di sini DPR berusaha untuk mengatur secara umum dan general saja di RUU SDA,” katanya.
Mova mengutarakan berlarut-larutnya RUU SDA ini diundangkan akan menghambat pencapaian target 100-0-100 pada 2019 karena investasinya mandeg. Program ini merupakan pemenuhan target 3 sektor, yaitu pemenuhan 100% akses layak air minum, pengurangan kawasan kumuh menjadi 0%, dan pemenuhan 100% akses sanitasi layak.
Baca Juga: Pembatasan Putusan MK di UU SDA Perlu Dikaji Secara Kritis
“Semua butuh investasi, dan investasinya mandeg karena terlalu lama RUU ini tidak diundangkan,” kata Mova.
Sementara itu, Alvin Syahrir, Pakar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, mengemukakan perlunya UU SDA yang baru itu disebabkan UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang berlaku saat ini pasca pembatalan UU SDA oleh MK sudah ketinggalan zaman untuk digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan sumber daya air.
"Pengelolaan SDA sudah saatnya mengatur dan pelaksanaannya secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi," ujarnya.
Dalam acara yang sama, Muhammad Reza Shahib dari Kruha (Koalisi Rakyat untuk Hak Asasi Manusia) Jakarta mengatakan, pembahasan RUU SDA ini sudah sangat berlarut-larut, padahal ada kedaruratan.
Baca Juga: Janji Jokowi Soal Izin Lahan SDA Luas Kepada Pengusaha Perlu Diuji
"Tidak mungkin bisa memiliki UU SDA yang lengkap sesuai harapan semua pihak. Jadi yang terpenting menurut Reza adalah hal-hal yang pokok harus masuk di UU SDA ini nantinya dan tidak campur aduk," tambahnya.
Staf Khusus Menteri PUPR Firdaus Ali juga optimis bahwa RUU SDA akan diundangkan dalam waktu dekat. Dia menuturkan bahwa hal yang paling krusian adalah bagaimana menterjemahkan amal keputusan MK dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat, termasuk swasta dan industri terkait pemanfaatan sumber daya air.
“Apa yang menjadi konsen APINDO sudah diterima dan diakomodasi oleh DPR, termasuk pasal 47 yang menyebutkan tentang 10% keuntungan untuk konservasi, itu juga sudah tidak ada,” tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: