Kelapa sawit di Eropa kerap dikampanyekan negatif dari segi lingkungan dan kesehatan. Di sisi lain, Indonesia berupaya mendekati isu kelapa sawit dari aspek nondiskriminasi perdagangan dan upaya pengentasan kemiskinan mengingat besarnya jumlah tenaga kerja yang terlibat. Maka dari itu, isu sawit di Eropa perlu mendapatkan pendekatan segar dan kreatif, salah satunya melalui simulasi role play isu sawit yang dikenalkan di rangkaian Latsis Symposium 2018 "Scaling-up Forest Restoration" pada 6—9 Juni 2018 di ETH (Swiss Federal Institute of Technology) Zurich.
Duta Besar RI untuk Swiss, Muliaman Hadad, yang hadir dan ikut berpartisipasi dalam simualsi tersebut menyampaikan apresiasi terhadap simulasi yang dimainkan oleh berbagai pihak yang mewakili berbagai pemangku kepentingan yang sengaja datang dari berbagai negara untuk mengikuti simulasi dimaksud.
"Dengan simulasi ini, isu sawit digambarkan bukan sebagai masalah sederhana yang hanya dapat dilihat dari satu sisi saja karena tidak hanya terkait dengan kepentingan bisnis dan lingkungan hidup, tetapi juga kepentingan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan petani yang jumlahnya mencapai lebih dari 5 juta jiwa dan menyerap lapangan kerja tak langsung lebih dari 10 juta," tutur Muliaman dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (5/7/2018).
Muliaman berharap simulasi role play ini mampu membuka mata, bahkan mengubah pandangan orang Eropa tentang isu sawit dengan perspektif yang lebih komprehensif.
Simulasi sawit yang diciptakan oleh Nur Hasanah, seorang mahasiswi doktor asal Indonesia di ETH Zurich, digambarkan melalui role play dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), seperti antara lain Pemerintah (pusat dan daerah), Perusahaan (korporasi) Sawit, Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO), petani, dan kelompok tani sawit.
“Pada dasarnya, simulasi role play ini adalah strategi dan survivor. Bagaimana setiap peserta dituntut untuk mengatur strategi bertahan hidup dengan sumber daya yang terbatas, tetapi perlu mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hidup di tengah tantangan yang bertubi-tubi,” tutur Nur.
Nur mengaku membutuhkan sekitar empat bulan menciptakan simulasi ini. Simulasi role play ini merupakan bagian dari penelitiannya dalam program doktor di salah satu universitas terbaik di dunia, ETH Zurich.
Simulasi ini dipimpin oleh seorang koordinator atau master yang mengatur diskusi antar pihak terkait dan menentukan skenario terutama menyampaikan perkembangan faktor eksternal yang berada di luar kendali para pihak, seperti perubahan cuaca, perkembangan harga sawit global, dan kebijakan pemerintah.
Selama simulasi yang dimainkan sekitar 1 jam ini, para peserta diberikan kebebasan untuk membentuk kesepakatan sesama petani dan melakukan negosiasi dengan perusahaan sawit. Simulasi berakhir dengan pemahaman para peserta atas pentingnya membangun visi yang sama yang dilandasi semangat saling menguntungkan para pihak yang terlibat.
Gabiya, salah seorang peserta asal Lithuania, mengaku lebih tercerahkan tentang isu sawit melalui simulasi ini.
"Saya tidak membayangkan bagaimana sulitnya para petani sawit skala kecil bisa bertahan hidup dengan segala tantangan yang ada,” ujarnya yang datang ke Swiss karena mengikuti Latsis Symposium di ETH Zurich.
Sedangkan Clara, peserta simulasi yang juga mahasiswa doktor ETH asal Perancis, mengutarakan pentingnya kolaborasi antara pengusaha sawit dengan para petani skala kecil untuk keberlanjutan lingkungan hidup.
"Saya menjadi lebih paham, mengapa Pemerintah Indonesia menempatkan sawit sebagai prioritas, karena di antaranya memperhatikan kepentinganpara petani skala kecil ini," imbuh Clara.
Sawit merupakan isu strategis bagi Indonesia karena sektor ini memberikan sumbangan besar bagi perekonomian nasional melalui peningkatan nilai tambah, kinerja nilai ekspor, penyerapan tenaga kerja, pemerataan kesejahteraan masyarakat, dan kontribusi pada penerimaan negara.
Hasil seminar tentang sawit yang diselenggarakan atas kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia dan Dicastery for Promoting Integral Human Development di Kota Vatikan (15/05/2018) juga mengakui seluruh rantai nilai (value chain) minyak sawit memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, memberantas kemiskinan, dan meningkatkan standar hidup di beberapa negara berkembang di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan.
Meskipun bukan merupakan anggota Uni Eropa (UE), Swiss mengadopsi pendekatan positif terhadap komoditas kelapa sawit dari Indonesia melalui kerja sama pembangunan dan pembinaan bagi para petani di negara produsen, meskipun tidak sedikit LSM di Swiss menolak sawit atas alasan lingkungan hidup dan kesehatan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: