Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Batu Bara: Bahan Bakar Kotor yang Tetap Diburu

Batu Bara: Bahan Bakar Kotor yang Tetap Diburu tambang | Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Banyaknya polusi yang ditimbulkan membuat pemakaian batu bara sebagai sumber energi di beberapa wilayah mulai dibatasi. Meski cadangannya kian terbatas, tapi karena keunggulan dari segi harga, konsumsi batu bara di sejumlah negara lain tetap tak terbendung.

Sebagai salah satu sumber daya yang tersedia di alam, penggunaan batu bara hingga saat ini masih terbilang tak tergantikan. Di satu sisi, pemakaian batu bara memang memiliki beberapa dampak negatif, salah satunya adalah karakteristiknya sebagai sumber energi yang paling banyak menimbulkan polusi lantaran banyaknya kandungan karbon yang dihasilkan. Namun di lain pihak, laju pembangunan yang terus meningkat di sejumlah negara berkembang turut mendorong bertumbuhnya kebutuhan terhadap batu bara mengingat posisinya sebagai energi primer bagi pembangkit listrik. 

Pasalnya, keberadaan beberapa alternatif sumber energi lain, seperti gas alam yang meskipun memiliki tingkat polusi lebih sedikit, secara harga lebih rentan terhadap fluktuasi di pasar dunia. Maka tak heran kalau di tengah makin gencarnya kampanye stop penggunaan batu bara, justru semakin banyak industri di dunia yang malah mengalihkan fokus energinya ke batu bara.

Menurut data statistik dari The World Energy Council pada tahun 2007, cadangan batu bara dunia yang tersisa diperkirakan sekitar 847 miliar ton. Dengan asumsi produksi batu bara global sekitar enam miliar ton per tahun, suplai batu bara diperkirakan dapat bertahan hingga 100 tahun ke depan. Saat ini, cadangan batu bara terbesar di dunia ditemukan di Amerika Serikat, Rusia, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan India.

Sementara, Indonesia sendiri berdasarkan data outlook energi tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Dewan Energi Nasional (DEN), memiliki sumber daya batu bara sebesar 119,82 miliar ton dan cadangan batu bara sebesar 28,97 miliar ton. Dengan total produksinya di tahun 2015 sebesar 393 juta ton, hal ini turut menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara penghasil batu bara terbesar di dunia.

Total produksi Indonesia dihasilkan dari enam perusahaan penambang terbesar, yakni PT Bumi Resources melalui Kaltim Prima Coal & Arutmin, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, Banpu Group (Indominco, Truba, Jorong), dan juga PT Bukit Asam. Di luar keenam pemain utama itu, batu bara juga dihasilkan oleh pemilik Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) dan Perusahaan yang memiliki ijin usaha penambangan (IUP) yang lain.

Lampaui Australia

Tampilnya Indonesia sebagai salah satu produsen sekaligus eksportir batu bara terbesar di dunia dimulai sejak tahun 2005. Saat itu, posisi Indonesia mulai mampu melampaui kemampuan produksi Australia, dengan menjadi eksportir terdepan dalam hal batu bara termal. Porsi batu bara termal yang diekspor Indonesia terdiri dari jenis kualitas menengah (antara 5100 dan 6100 cal/gram) dan jenis kualitas rendah (di bawah 5100 cal/gram) yang sebagian besar permintaannya berasal dari Cina dan India.

Bila dikaitkan dengan posisinya sebagai bagian dari cadangan batu bara global, Indonesia saat ini menempati peringkat ke-9 dengan sekitar 2,2% dari total cadangan batu bara global, terbukti berdasarkan BP Statistical Review of World Energy. Sekitar 60% dari cadangan batu bara total Indonesia terdiri dari batu bara kualitas rendah yang lebih murah (sub-bituminous) yang memiliki kandungan kurang dari 6100 cal/gram. Kantung-kantung cadangan batu bara di Indonesia tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Namun, secara garis besar wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur merupakan tiga daerah dengan cadangan batu bara terbesar di Indonesia.

Sejak awal tahun 1990-an, sektor pertambangan batu bara mulai dibuka kembali oleh pemerintah untuk investasi luar negeri. Sejak saat itu, Indonesia mengalami peningkatan produksi, ekspor, dan penjualan batu bara luar negeri yang cukup signifikan. Namun, secara penjualan domestik belum begitu menggembirakan mengingat konsumsi batu bara dalam negeri kala itu masih relatif terbatas. Dari sisi ekspor, batu bara Indonesia pun diperkirakan berkisar antara 70%—80% dari total produksi batu bara. Adapun sisanya dijual di pasar domestik.

Booming Batu Bara 

Di sepanjang era tahun 2000-an, terjadi “boom komoditas” yang membuat industri pertambangan batu bara menjadi sangat menguntungkan dengan posisi harga jual yang melambung tinggi. Oleh karena itu, banyak perusahaan Indonesia dan para pengusaha besar yang tertarik untuk mengakuisisi konsesi pertambangan batu bara di pulau Sumatera atau Kalimantan. Pada era ini, batu bara dijuluki sebagai “emas baru”. 

Setidaknya, ada tiga alasan yang menjadi landasan peningkatan produksi dan ekspor batu bara di masa itu. Pertama, posisi batu bara sebagai kekuatan dominan dalam pembangkit listrik. Sedikitnya 27% dari total output energi dunia dan lebih dari 39% dari seluruh listrik dihasilkan oleh pembangkit listrik bertenaga batu bara. Hal ini bisa terjadi lantaran melimpahnya jumlah batu bara, proses ekstraksinya yang relatif mudah dan murah, serta persyaratan-persyaratan infrastruktur yang lebih murah dibanding sumber daya energi lainnya. 

Kedua, Indonesia memiliki cadangan batu bara melimpah dengan kualitas menengah dan rendah. Ditambah dengan tingkat upah tenaga kerja di Indonesia yang juga relatif rendah dibanding negara-ngara lain, praktis menjadikan batu bara hasil produksi Indonesia memiliki harga yang lebih kompetitif di pasar internasional. 

Ketiga, Indonesia memiliki posisi geografis yang strategis untuk pasar raksasa negara-negara berkembang, yaitu China dan India. Permintaan untuk batu bara kualitas rendah dari kedua negara tersebut meningkat tajam karena banyak pembangkit listrik bertenaga batu bara baru yang telah dibangun untuk menyuplai kebutuhan listrik penduduk kedua negara yang besar itu.

Negara tujuan utama untuk ekspor batu bara Indonesia adalah China, India, Jepang, dan Korea Selatan. Di tahuntahun kejayaannya, batu bara mampu menyumbang sekitar 85% terhadap total penerimaan negara dari sektor pertambangan.

Prospek Batu Bara 

Booming harga komoditas tersebut pada akhirnya menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi perusahaanperusahaan yang bergerak di dalam ekspor batu bara. Kenaikan harga komoditas sebagian besar dipicu oleh pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Namun, kondisi yang sangat menguntungkan ini kemudian berubah saat terjadi krisis keuangan global pada tahun 2008. Kala itu, hargaharga komoditas menurun begitu cepat.

Indonesia pun tak luput merasakan pengaruh faktor-faktor eksternal ini karena ekspor komoditas (terutama untuk batu bara dan minyak sawit) berkontribusi hingga 50% dari total ekspor Indonesia. Hal ini membuat pertumbuhan PDB tahun 2009 tertekan hingga ke level 4,6%.

Memasuki semester dua tahun 2009 hingga awal tahun 2011, harga batu bara global mulai mengalami rebound tajam. Kendati demikian, penurunan aktivitas ekonomi global telah menurunkan permintaan batu bara sehingga mengakibatkan penurunan tajam harga batu bara dari awal tahun 2011 sampai pertengahan 2016.

Selain dari lambatnya pertumbuhan ekonomi global yang diiringi dengan pelemahan ekonomi di China yang cukup tajam, juga penurunan permintaan komoditas, masih ada faktor lain yang turut berperan, yakni terjadinya over suplai sebagai akibat turunan dari era boom komoditas pada tahun 2000- an. Pasalnya, saat itu ada banyak perusahaan pertambangan baru yang didirikan di Indonesia.

Adapun perusahaan-perusahaan tambang yang sudah lama existing juga turut meningkatkan investasi guna memperluas kapasitas produksinya. Kondisi ini diperburuk oleh antusiasme para penambang batu bara di tahun 2010—2013 untuk memproduksi dan menjual batu bara sebanyak mungkin demi memaksimalkan pendapatan dan keuntungan perusahaan.

Pada paruh kedua 2016, harga batu bara melonjak ke level yang kita lihat di awal 2014 sehingga memberikan angin segar ke industri pertambangan. Kenaikan harga ini dipicu oleh pulihnya harga minyak mentah dan juga meningkatnya permintaan batu bara domestik di Indonesia seiring dengan kembalinya pembangkit listrik tenaga batu bara baru. Namun, yang lebih penting lagi adalah kebijakan penambangan batu bara di China.

Sebagai produsen dan konsumen batu bara terbesar di dunia, China memutuskan untuk memangkas hari produksi batu bara domestiknya. China berupaya mendorong harga batu bara ke level yang lebih tinggi pada paruh kedua tahun 2016 sebagai respons atas tingginya rasio kredit bermasalah atau non-performing loans (NPL) di sektor perbankannya.

Namun, dengan masih suramnya aktivitas ekonomi global, arah harga batu bara dalam jangka pendek hingga menengah masih sangat bergantung terhadap kebijakan batu bara China. Walaupun kesadaran global telah dibangun untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, faktanya perkembangan sumber energi terbarukan tidak menunjukkan indikasi bahwa ketergantungan pada bahan bakar fosil (terutama batu bara) akan menurun secara signifikan dalam waktu dekat. Justru, kebutuhan terhadap teknologi batu bara bersih dalam pertambangan batu bara menjadi semakin meningkat. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: