Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengingatkan pergerakan rupiah yang positif masih bersifat sementara karena pasar dapat bereaksi negatif terhadap hasil tiga pengumuman data ekonomi terbaru. Reaksi yang dapat memicu perlemahan rupiah tersebut dapat terjadi terutama apabila hasil yang diharapkan berada diluar perkiraan konsensus dan pelaku pasar tidak melakukan antisipasi (price in).
"Meski terjadi penguatan rupiah dan kembalinya modal masuk ke pasar obligasi dan saham Indonesia, terdapat tiga pengumuman penting dalam beberapa hari kedepan yang dapat mempengaruhi sentimen pasar," ujarnya.
Pengumuman tersebut adalah realisasi defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2018, pencapaian neraca perdagangan pada Oktober serta Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada pertengahan November. Dalam rilis Bank Indonesia yang diterbitkan Jumat (9/11), defisit neraca transaksi berjalan meningkat menjadi 3,37 persen dari PDB atau sebesar 8,8 miliar dolar AS pada triwulan III-2018 atau secara akumulatif mencapai 2,86 persen terhadap PDB.
Pengumuman kinerja neraca perdagangan Oktober akan diumumkan bersamaan dengan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, yang akan memutuskan penetapan suku bunga acuan, pada Kamis (15/11). Pembenahan berkelanjutan Sementara itu, Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada menambahkan sentimen global terkait normalisasi kebijakan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) dapat terus membayangi pergerakan rupiah.
Ia mengatakan selama The Fed masih mempertimbangkan kenaikan suku bunga maka pergerakan dolar AS terus berpotensi meningkat dan menganggu stabilitas mata uang di negara berkembang. Kendati demikian, Reza memproyeksikan potensi terjadinya kembali depresiasi rupiah, masih terbatas, karena sentimen dalam negeri masih kondusif akibat membaiknya data perekonomian Indonesia.
Untuk itu, kesempatan ini merupakan momentum dari perbaikan defisit neraca transaksi berjalan guna meningkatkan daya tahan stabilitas rupiah agar tidak rentan dari tekanan eksternal hingga beberapa tahun mendatang.
Pemerintah juga telah mengantisipasi terjadinya gejolak mata uang pada 2019, yang dipicu oleh kemungkinan dua kali kenaikan suku bunga The Fed tahun depan dan ketidakpastian dari perang dagang. Hal tersebut terlihat dari penetapan asumsi nilai tukar sebesar Rp15.000 per dolar AS dalam APBN 2019 dengan mempertimbangkan risiko global yang dapat memicu pergerakan arus modal kembali ke negara maju.
Penetapan ini ikut memperhatikan usulan Bank Indonesia yang memperkirakan pergerakan nilai tukar rupiah pada 2019 berada pada kisaran Rp14.500 per dolar AS-Rp15.200 per dolar AS. Melalui penyusunan APBN yang realistis dan kredibel, pemerintah bersama Bank Indonesia telah menyiapkan mitigasi fiskal untuk mengantisipasi ketidakpastian global yang dapat terjadi tahun depan.
Dengan koordinasi tersebut, pergerakan rupiah terhadap dolar AS diyakini tidak akan terpengaruh oleh tekanan eksternal maupun domestik dalam jangka pendek maupun menengah panjang. Meski demikian, tugas untuk memperbaiki fundamental perekonomian melalui pembenahan neraca transaksi berjalan harus dilakukan secara berkelanjutan karena kabar gembira dari luar bisa saja merupakan angin surga dan tidak terjadi setiap saat.E
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: