"Blockchain adalah sistem pencatatan di buku besar digital yang tidak dapat diubah maupun dihapus keaslian catatannya. Jadi, apabila bapak atau ibu memasukkan data di aplikasi HARA maka pencatatannya tidak akan ada satu orang pun yang dapat mengubah keaslian informasi yang ada," kata CEO HARA, Regi Wahyu, saat menerangkan teknologi blockchain kepada para petani di Bojonegoro, beberapa waktu lalu.
Apa itu blockchain? Sederhananya, blockchain adalah sistem pembukuan yang terdesentralisasi. Setidaknya ada lima prinsip kerja blockchain menurut Harvard Business Review:
1. Database terdistribusi (pengguna punya akses yang sama ke seluruh data);
2. Transmisi peer to peer (transaksi tanpa melalui nod perantara);
3. Transparansi tanpa pseudonimitas/identitas palsu (tiap pengguna memiliki alamat berisi 30 karakter alfanumerik atau lebih);
4. Catatan yang irreversible (transaksi tersusun secara urutan kronologi menggunakan pengamanan cryptography);
5. Dan logika komputasional (transaksi bisa otomatis dilakukan ketika kriteria tertentu terpenuhi).
Baca Juga: Asosiasi Blockchain Indonesia: 2019 Kunci Pasar Kripto
Pada abad ke-15 lalu, Italia mengembangkan sistem pembukuan (ledger) untuk keperluan pencatatan aktivitas bisnis seperti belanja modal, inventori, pembayaran gaji/kontraktor, pendapatan dari penjualan, jasa, maupun barter. Pencatatan yang sistemis, aman, dan berstruktur jangka panjang ini dibutuhkan untuk mengetahui perkembangan terkini bisnis mereka dan juga catatan historis yang membawa mereka ke kondisi saat ini.
Di abad 20 muncul teknologi internet dan komputer yang membuat ledger yang semula dimuat di buku (ditulis tangan) kemudian diketik dan di-print. Lalu tahun 2008 lalu pasca krisis keuangan global, Satoshi Nakamoto mengembangkan sistem pembukuan terdistribusi (distributed ledger) yang kemudian dikenal sebagai blockchain saat ini.
Nilai Ekonominya Besar
Berdasarkan survei yang dilakukan Deloitte Consulting LLP terhadap 1.053 eksekutif senior (level-C) di perusahaan-perusahaan dengan pendapatan lebih dari US$500 juta pada April 2018 lalu, adopsi blockchain semakin matang (comes of age) khususnya di negara seperti Kanada, China, Perancis, Jerman, Meksiko, Inggris, dan Amerika Serikat.
Berdasarkan segmentasinya, ada dua kelompok perusahaan yang mengadopsi teknologi ini: perusahaan mapan dan emerging disruptor. Perusahaan mapan biasnaya tidak bullish terhadap teknologi ini dan lebih dalam tahap coba-coba dengan membuat proof of concept.
Ini lantaran perusahaan-perusahaan yang lebih matang dihadapkan pada beberapa isu seperti: regulasi, kerumitan dalam mengganti sistem pencatatan seperti CRM, ERP, financial ledger, inventory tracking system saat ini, keamanan, ketidakpastian ROI, dan isu kekurangan blockchain specialist.
Kelompok kedua, emerging disruptor –perusahaan yang memulai bisnisnya di masing-masing industri sebagai perusahaan rintisan (startup) namun karena pertumbuhannya yang eksponensial pada akhirnya mendisrupsi perusahaan mapan yang lebih dulu hadir di pasar –lebih matang mengimplementasi blockchain karena mereka tidak perlu menghawatirkan hal-hal tersebut.
Itulah alasan perusahaan rintisan Storj Labs tanpa ragu menggunakan blockchain sebagai marketplace bagi pengguna yang kelebihan hardisk drive dan bandwidth sehingga saat ini memiliki kapasitas penyimpanan 100 petabytes di 180 negara tanpa memiliki data center. Sementara Rivetz Corp menggunakan blockchain untuk menciptakan bisnis transaksi yang benar-benar baru.
Baca Juga: Blockchain dan Peluangnya untuk Masuk ke Sektor Fintech
General Manager, Banking, and Financial Market IBM Indonesia, Inge Halim, mengamini implementasi blockchain di dunia perbankan saat ini lebih banyak pada tahapan PoC (proof of concept) ketimbang implementasi penuh selayaknya perusahaan-perusahaan emerging disruptor atau startup.
"Saat ini IBM Indonesia menggandeng sembilan perbankan Indonesia dan OJK agar PoC ini bisa diujicoba di regulatory sandbox dan diterapkan secara massif oleh perusahaan-perusahaan perbankan yang sudah mapan. Karena blockchain akan menjadi business driver yang menghasilkan pedapatan dan memungkinkan perbankan Indonesia menjadi pemimpin di Kawasan. Kalau di dunia itu, bank-bank aliansi namanya R3. Mulai dari 10 sampai 20 bank, sekarang makin banyak. Blockchain pada dasarnya seperti itu," kata dia.
Namun demikian (masih menurut survey Delloite), penerimaan atau implementasi blockchain di perusahaan-perusahaan yang mapan semakin membaik. Sebanyak 39% responden menyatakan bakal berinvestasi di blockchain minimal US$5 juta tahun ini. Mereka, terutama perusahaan di bidang otomotif, migas, kesehatan, jasa keuangan, TI, media dan telekomunikasi, serta makanan sangat bullish terhadap potensi blockchain.
Potensi tersebut, berupa kecepatan yang lebih besar dari sistem existing (32%), menciptakan model bisnis dan sumber pendapatan baru (28%), serta efisiensi biaya (16%). Dari sisi keamanan, sebanyak 84% responden merasa blockchain lebih aman dari sistem TI konvensional.
Wajar jika mereka melirik teknologi ini karena potensinya dalam menambah pendapatan cukup besar. Hitungan Autonomous (Aite Group), implementasi blockchain akan memberi tambahan pendapatan sekitar US$6 miliar pada tahun 2020 dengan pertumbuhan rerata pertahun (CAGR) 12,6% menjadi US$20 miliar pada 2030. Sektor B2B lintas negara sendiri bakal meraup pendapatan terbesar, sekitar US$3,5 miliar (56%) pada 2020 dan US$12,2 miliar (60%) pada tahun 2030.
Diimplementasi Perusahaan Indonesia
Di Indonesia, penggunaan teknologi blockchain sendiri beragam. Misalnya untuk pertanian, baru dalam tahap pengumpulan data. Ini seperti yang dilakukan HARA, sebuah perusahaan rintisan penyedia sarana pertukaran data melalui blockchain. HARA sebagai pengumpul data akan memberikan sejumlah token kepada partisipan, mulai dari petani, bank, hingga pemasar.
CEO HARA, Regi Wahyu, mengungkapkan industri pertanian di Indonesia memiliki potensi besar. Nilai ekspor agrikultur Indonesia pada 2017 sebesar Rp440 triliun dengan luas lahan mencapai 8,19 juta hektare. Sementara jumlah penduduk yang bekerja di sektor agrikultur sebanyak 39,6 juta orang, sekitar 31%.
"Dari potensi tersebut, banyak informasi yang dapat digali dan nantinya akan dapat membantu berbagai stakeholder, seperti petani, pemerintah, atau entitas swasta dalam memperoleh wawasan mengenai potensi dan hambatan yang dihadapi. Saat ini sebagian besar informasi tersebut belum didokumentasikan dan bisa diakses secara terbuka," kata dia.
Baca Juga: 5 Bagian yang Pas untuk Kembangkan Blockchain
Lalu di perkebunan, Asian Agri bergabung dalam konsorsium SUSTAIN menggunakan teknologi ini dan software SAP Leonardo untuk memecahkan isu traceability yang selalu ditekankan oleh pasar produk sawit Indonesia termasuk Eropa.
Managing Director SAP Indonesia, Andreas Diantoro, menyebutkan konsorsium pengusaha kelapa sawit bekerja sama dengan SAP untuk membuat solusi agar dapat memberikan informasi secara lengkap asal muasal sawit yang konsumen konsumsi.
"Seorang konsumen di Eropa yang membeli satu botol minyak goreng, bisa langsung tahu datangnya dari lahan bagian mana," jelas Andreas.
Informasi tersebut dapat diperoleh hanya dengan melakukan scan dari QR Code yang tertera dalam kemasan minyak goreng tersebut.
Lalu di perbankan, BCA saat ini menggunakan blockchain untuk membangun aplikasi agar lebih cepat. Presiden Diretur BCA, Jahja Setiaatmadja, menyatakan pihaknya menggunakan solusi IBM Blockchain untuk membantu industri keuangan mempercepat transaksi pembayaran, mengurangi kompleksitas transaksi terutama di bagian back office, sekaligus menekan biaya operasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: