Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 di Indonesia memang telah usai. Namun, perdebatan masyarakat masih terus berlangsung terkait quick count.
Berkaca pada proses pemilu di negara-negara lain, perdebatan soal validitas, akurasi dan tingkat keamanan data-data hasil pemilihan sebenarnya sudah mulai ditinggalkan dengan mulai dimanfaatkan perkembangan teknologi yang ada. Salah satunya adalah penggunaan teknologi blockchain yang merupakan sistem pencatatan terbaru yang menggunakan metode desentralisasi data dengan menyambungkan banyak perangkat komputer dalam sebuah koneksi bersama.
Perangkat-perangkat yang saling terkoneksi tersebut nantinya saling berfungsi sebagai server atas data yang akan disimpan. Karena menggunakan banyak server sekaligus, maka setiap upaya editing dengan maksud peretasan dengan sendirinya bakal terendus karena masing-masing data di banyak server itu bakal saling memverifikasi. Ditambah lagi, dalam kurun waktu tertentu secara reguler data yang telah dimasukkan ke sistem bakal dikunci dalam ‘block’ dan tidak bisa diapa-apakan.
Baca Juga: Indonesia Ribut Klaim Data, Negara-Negara Ini Sudah Pakai E-Voting Untuk Pemilunya
Meskipun si pemilik data akan merevisi, data aslinya pun tidak akan terhapus, sehingga lebih aman terhadap segala upaya kecurangan. Terakhir, karena blockchain bersifat open source, maka semua pihak bisa melihat data dan segala aktifitas yang terjadi tanpa terkecuali. Hal ini mereduksi kemungkinan saling curigi antara masing-masing pihak yang terlibat dalam proses pemilihan.
Berbagai pertimbangan di atas itulah yang mendorong sejumlah negara untuk mulai memanfaatkan teknologi blockchain dalam proses pemilunya. Salah satu yang terbaru di Kota Denver, Negara Bagian Colorado, Amerika Serikat (AS) yang bakal melangsungkan pemilunya pada Mei 2019 mendatang.
Pemerintah setempat pun telah meminta bantuan pada Voatz, startup-startup asal Massachussetts, Amerika Serikat (AS), yang secara spesifik mengkhususkan bisnisnya pada layanan teknis pemanfaatan blockchain untuk pemilu. Sebelum dipercaya oleh pemerintah Denver, Voatz dalam empat tahun terakhir juga telah terlibat dalam sedikitnya lebih dari 30 ajang Pemilu di berbagai wilayah AS dengan hasil memuaskan.
Baca Juga: Ternyata Ini Dasar Prabowo Deklarasikan Kemenangan
“Memang di beberapa negara (pemanfaatan blockchain untuk pemilu) sudah mulai dilakukan. Cukup banyak juga, karena memang sudah pasti sangat membantu karena lebih aman, lebih transparan dan tentunya lebih efisien karena proses penghitungan suaranya juga bisa dilakukan jauh lebih cepat,” ujar Ketua Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI), Oscar Darmawan, saat dimintai pendapatnya.
Namun demikian, Oscar pun buru-buru mengingatkan bahwa hal ini sepertinya belum akan bisa diterapkan di Indonesia dalam waktu dekat. Alasannya, perlu waktu persiapan yang tidak sebentar dan juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan disebut Oscar juga diperkirakan belum cukup siap untuk menerapkannya.
Baca Juga: KPU Minta Dua Kubu Berhenti Klaim Kemenangan
“Untuk kita bisa ke sana Saya pikir masih jauh lah. Bahkan untuk electronic voting saja kita belum familiar dan masih banyak pro dan kontra, padahal untuk kehidupan sekarang kan semuanya sudah serba elektronik. Tapi ya kalau dalam hal itu (pemanfaatan blockchain untuk pemilu) menurut Saya masih belum (siap) lah,” tegas Oscar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Clara Aprilia Sukandar
Tag Terkait: