Pengamat politik Djayadi Hanan mengatakan pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo secara politik justru memiliki tugas yang berat.
"Tugas berat, yaitu memberikan dasar-dasar yang kuat untuk kepemimpinan nasional kita selanjutnya," kata Djayadi yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) di Jakarta, Minggu (14/7/2019).
Baca Juga: Jokowi dan Prabowo Bertemu: Ada yang Suka, yang Nyinyir Juga Banyak
Menurut Djayadi, seni memimpin dan cara Jokowi membentuk timnya pada periode kedua ini akan menjadi sebuah ujian untuk mengatasi berbagai tantangan. Salah satunya soal tarik-menarik kepentingan antarpartai dan kepentingan para politisi.
"Itu tidak bisa dihindari, itu nyata, karena boleh dikatakan Pak Jokowi sekarang bisa berfungsi lebih dari negarawan tetapi yang berada di sekeliling Pak Jokowi? Para partai dan segala macam," ucap Djayadi.
Baca Juga: Prabowo Tidak Berkhianat, Ia Tetap Bela Ulama!!
Djayadi mengatakan, strategi pembentukan tim itu termasuk apakah tetap diperlukan para negosiator politik atau tidak. Hal tersebut untuk memastikan bila suatu saat ada kebijakan yang ingin dicapai harus dinegosiasikan dengan para pemangku kepentingan termasuk para partai politik (parpol) pendukungnya.
"Selalu seorang presiden dalam sistem presidensial itu memerlukan negosiator dalam menjalankan pemerintahannya, supaya terbangun koalisi-koalisi yang selalu membantu dia untuk meloloskan setiap program pemerintahannya," tambahnya.
Selain itu, Djayadi mengatakan kepemimpinan Jokowi yang kedua ini harus menjadi periode yang menuntaskan proses pemberantasan korupsi. "Saya membayangkan di kepemimpinan berikutnya kita tidak terlalu fokus di pemberantasan korupsi, tidak terlalu fokus nangkepin orang yang korupsi, tapi lebih fokus pada pencegahan korupsi," ujar Djayadi.
Pemberantasan korupsi itu seringkali, kata dia, menyentuh kepentingan-kepentingan yang sangat politis, termasuk bisa jadi di kalangan yang terkait dengan kebijakan-kebjakan presiden secara langsung atau tidak. Kondisi tersebut dapat mengganggu dan mempengaruhi cepat atau lambatnya jalan dari agenda-agenda pemerintahan.
"Bisa juga (timbuh masalah) kalau presidenya keras kepala, 'are you with me or againts me?' itu di Brazil bisa terjadi gontok-gontokan antara presiden dengan partai-partai dan parlemen, sehingga ujung-ujungnya terjadi deadlock (jalan buntu) dan pemerintahan tidak berjalan," kata Djayadi.
Djayadi mengatakan contoh seperti itu dapat menjadi tantangan untuk pemerintahan Jokowi ke depan, terutama dua hal itu, reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil