Sejak krisis moneter menimpa sebagaian negara Asia, termasuk Indonesia, maskapai penerbangan milik pemerintah, Garuda Indonesia tak henti- henti diterjang badai keuangan. Sempat bangkit dan meraih beberapa penghargaan di bidang industri maskapai pesawat terbang, sejak tahun 2017 hingga sekarang turbulensi keuangan Garuda belum juga mereda. Baru- baru ini, Garuda membuat laporan keuangan cacat setelah dua komisaris perusahaan, yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak menandatangani laporan keuangan tahunan 2018 dan kuartal I 2019. Chairal Tanjung dan Dony Oskaria merupakan dua komisaris Garuda Indonesia yang mewakili pemegang saham PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd yang menguasai 28,08 persen saham Garuda.
Ada alasan yang berdasar kenapa dua komisaris itu menolak menandatangani laporan keuangan Garuda tersebut. Menurut pasal 67 UU Perseroan Terbatas, penandatanganan laporan tahunan bentuk pertanggungjawaban anggota Dewan Komisaris dalam menjalankan tugasnya. Maka dengan menandatangani laporan keuangan itu, berarti sama saja dengan setuju dengan hasil laporan keuangan tersebut.
Keduanya beralasan bahwa perjanjian kerja sama antara Garuda Indonesia dengan Mahata Aero Teknologi senilai US$239,94 juta yang berlaku untuk 15 tahun ke depan tidak bisa dimasukan ke dalam laporan keuangan Garuda tahun 2018. Menurut Chairal, catatan kontrak transaksi dengan Mahata tidak bisa dimasukan ke dalam pendapatan dalam laporan keuangan buku 2018 karena bertentangan dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PASK) No. 23 tentang Pendapatan, terutama paragraf 28 dan 29.
Dalam penyajian ulang laporan keuangan tahun 2018, alih- alih mendapatkan keuntungan, emiten penerbangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini malah mencatatkan kerugian. Dalam penyajian ulang laporan tersebut, diketauhi Garuda Indonesia mengalami kerugian sebesar US$ 175 juta atau setara Rp 2,45 triliun (kurs Rp 14.004/US$).
Terdapat selisih sebesar US$ 180 juta dari jumlah yang disampaikan dalam laporan keuangan tahun 2018 sebelumnya. Atas dasar ini pula Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) kompak memberikan sanksi atas laporan keuangan Garuda Indonesia tahun buku 2018 yang dinilai melanggar ketentuan dari standar akuntansi yang ada.
Baca Juga: Garuda Minta Penumpang Turun dari Pesawat, Ternyata karena. . . .
Baca Juga: Bos Garuda Indonesia Sapa Para Pelanggan di Hari Pelanggan Nasional
Tak hanya sanksi admnistratif, BEI dan OJK juga kompak memberikan denda kepada perusahaan dan direksi serta komisaris persuahaan.
Setelah Emirsyah turun dari pucuk kepemimpinan di Garuda, turbulensi yang mengguncang maskapai penerbangan berplat merah ini tak kunjung reda. Dimulai pada tahun 2014, Arif Wibowo yang sebelumnya memimpin PT Citilink Indonesia ditunjuk oleh pemerintah sebagai dirut Garuda Indonesia menggantikan Emirsyah Satar. Arif seperti tertiban sial, ia harus duduk di pucuk pimpinan Garuda saat keuangan Garuda terus memburuk. Arif mewarisi pekerjaan rumah yang tidak mudah, di awal kepemimpinannya, Garuda harus mengalami kerugian sebesar $371 juta.
Operasional perusahaan dianggap menjadi beban yang membuat keuangan Garuda merugi. Sepanjang 2014, beban operasional Garuda naik menjadi $2,5 miliar, dari semula $2,2 miliar pada 2013.
Arif yang tidak ingin melihat Garuda hancur, semenjak dilantik langsung melakukan efesiensi di semua sektor, terutama pada sektor operasional penerbangan dan pemeliharaan. Hasilnya cukup berdampak, pada tahun 2015 Garuda berbalik untung sebesar $77,9 juta.
Namun, pada tahun selanjutnya, meski masih mampu meraup laba bersih sebesar $9,3 juta, keuntungan Garuda terbilang merosot hingga 87,99 persen dari tahun 2015 yang mencapai $77,974 juta. Arif mengklaim ketatnya harga persaingan tiket pesawat di masyarakat serta adanya pelambatan daya ekonomi berdampak pada tingkat daya beli masyarakat.
Pada 12 April 2017 Menteri BUMN Rini Soemarno menunjuk Pahala N. Mansury mantan Direktur Keuangan Bank Mandiri sebagai Direktur Utama GIAA menggantikan Arif Wibowo. Di tahun pertamanya, Pahala Mansyuri tak mampu berbuat banyak, Garuda malah merugi 213,4 juta dolar AS. Pahala beralasan, kerugian yang dialami Garuda akibat dari naiknya biaya operasional yang terdiri dari biaya perawatan dan biaya pembelian bahan bakar, yang mencapai 2,5 persen: dari 1,023 miliar dolar AS jadi 1,049 miliar dolar AS.
Harga saham Garuda juga tidak pernah naik secara signifikan, bahkan pada tahun 2018 harga saham Garuda pernah ada di posisi Rp 220 per lembar. Harga saham Garuda sempat naik dan menyentuh level Rp525 per saham, pasca RUPS harga saham GIAA terkoreksi 7,6% ke level Rp 462/unit.
Kerugian yang terus menerus menggerogoti tubuh Garuda, membuat banyak pekerja mereka was- was dengan kinerja perusahaan. Serikat Bersama Garuda Indonesia yang terdiri atas Asosiasi Pilot Garuda (APG) dan Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) menolak hasil RUPSLB, karena dianggap tidak mampu memeberikan harapan perbaikan kondisi keuangan Garuda yang terus merosot sejak tahun 2017.
Emirsyah Satar yang duduk sebagai Direktur Utama selama 2005- 2014 sebenarnya pernah berhasil membawa Garuda kembali Berjaya di angkasa sama seperti sebelum pasca krisis moneter yang melanda sebagian negara di Asia. Di bawah kepemimpinannya, Garuda melakukan rekturisasi pada seluruh aspek maskapai. Di tangannya, Garuda diubah menjadi salah satu dari 10 maskapai terbaik dunia dan mendapat beberapa penghargaan seperti ‘The World’s Best Cabin Crew” dan The World’s Best Economy Class 2013” dari Skytrax, lembaga pemeringkat penerbangan independen berbasis di London. Rating pelayanan Garuda naik dari bintang 3 ke bintang 5. Bahkan pada tahun 2011, maskapai berplat merah ini berhasil mecatatkan sahamnya (IPO) di Bursa Efek Indonesia dengan kode emiten GIAA.
Di tangannya juga Garuda kembali diberi izin terbang di udara Eropa lagi, setelah sejak tahun 2005 pesawat Garuda dilarang memasuki wilayah Eropa karena catatan keselamatan yang buruk. Pada tanggal 5 Maret 2014, Garuda Indonesia resmi bergabung dengan aliansi SkyTeam sebagai anggota ke-20, satu- satunya maskapai Indonesia yang berhasil bergabung ke aliansi maskapai penerbangan kelas dunia.
Selama sembilan tahun memimping, di tanganya Garuda hampir tidak mengalami turbulensi sama sekali. Ia berhasil mengubah Garuda yang berdarah- darah menjadi salah satu perusahaan terbaik di dunia. Ia bahkan berhasil menaikan pamor Garuda di mata internasional dengan menjadi sponsor resmi klub sepak bola asal Inggris, Liverpool FC.
Salah satu keputusan kontroversialnya yang terbukti berhasil adalah fokus bisnis Garuda di full service carrier. Padahal saat itu, maskapai- maskapai penerbangan baru low cost carrier sedang gila- gilaan memberikan harga yang murah agara siapa saja bisa terbang.
Emirsyah Satar mengundurkan diri pada tahun 2014, tiga bulan sebelum masa jabatannya berakhir dengan segudang pekerjaan rumah yang menumpuk. Ia mewariskan penerusnya Arif Wibowo kerugian sebesar $371 juta. Meski begitu, nilai kerugian tersbeut dianggap wajar karena Garuda baru saja melakukan pembelian 34 unit pesawat baru pada 2014, saat Emirsyah masih menjabat.
Sejak saat itu, kondisi keuangan Garuda terus mengalami turbulensi yang tak kunjung reda. Bahkan penggantian Direktur Umum yang terjadi sejak Emirsyah Satar undur diri tidak mampu membawa kondisi keuangan Garuda kembali membaik.
Meski beberapa terobosan telah dilakukan oleh manajemen Garuda Indonesia untuk menyelamatkan keuangan, dari menaikan harga tiket pesawat hingga memotong rute- rute yang tidak menguntungkan. Nmaun kebijakan tersebut belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi keuangan Garuda, setidaknya sampai akhir tahun 2018. Garuda masih megalami kerugian sebesar US$ 175 juta atau setara Rp 2,45 triliun (kurs Rp 14.004/US$).
Pada kuartal I tahun ini, Garuda berhasil membukukan laba sebesar USD19,7 juta atau setara dengan Rp278,5 miliar. Padahal menurut trennya, kuartal I merupakan masa yang sepi bagi industri penerbangan. Garuda menerapkan strategi penerbangan dengan menyesuaikan permintaan atau mengurangi frekuensi penerbangan, agar mampu melakukan efisiensi keuangan di sektor operasional penerbangan yang selama ini selalu membebani keuangan perusahaan.
Dengan membaiknya kondisi keuangan Garuda di kuartal pertama, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Fuad Rizal berharap keuangan Garuda akan mencatatkan keuntungan di akhir pembukuan tahun 2019.
Garuda Indonesia juga membawahi beberapa anak perusahaan yang masih terjun d industri maskapai penerbangan yakni, Citilink, Sriwijaya Air dan Nam Air. Garuda Indonesia juga baru saja meluncurkan Electra lewat anak perusahaan Garuda lainnya yaitu PT Sabre Travel Network Indonesia. Electra merupakan platform marketplace agen tiket online yang menghubungkan agen tiket konvensional dengan konsumennya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil