Dari data IPK tersebut, dapat dilihat bahwa, peningkatkan secara signifikan kemudahan berbisnis memang akan meningkatkan skor IPK. Namun memutus relasi koruptif antara pejabat negara, pelayan publik, penegak hukum dan pebisnis menjadi salah satu kontribusi yang paling berdampak dalam mengurangi korupsi.
Di sisi lain, pembenahan lembaga-lembaga politik harus dilakukan secara sungguh-sungguh. "Kontribusi kenaikan skor IPK dipicu oleh lahirnya sejumlah paket kemudahan berusaha dan sektor perizinan yang ramah investasi. Namun skor tersebut akan lebih optimal lagi kenaikannya jika maraknya praktik korupsi dalam sistem politik dan lembaga-lembaga penegakan hukum di Indonesia bisa diberantas dengan tuntas," tutur Dadang.
Sementara itu, pada 2017 berdasarkan data yang dirilis oleh TII dalam Indeks Persepsi Korupsi 12 Kota menggambarkan situasi korupsi dalam kalangan pebisnis. Sebanyak 17 persen pelaku usaha di 12 Kota penyumbang PDB terbesar di Indonesia menyatakan pernah kalah dalam berkompetisi untuk mendapatkan proyek pemerintah karena pesaingnya melakukan suap.
Sedangkan jika disandingkan dengan data 2015, dengan responden yang sama ditemukan bahwa 20 persen pelaku usaha yang kalah bersaing karena suap.
Menurut Dadang, penurunan prevalensi suap ini adalah sebuah bentuk usaha bersama yang telah dilakukan berbagai pihak. Pemerintah, kata dia, hadir dengan paket kemudahan berusaha dan perbaikan sektor reformasi birokrasinya.
"KPK dengan penindakan dan penegakan hukum yang pada akhirnya menimbulkan kepastian hukum yang bebas dari korupsi. Serta di kalangan pelaku usaha yang berkontribusi dalam kepatuhan terhadap etik dan integritas serta nilai-nilai antikorupsi yang dikembangkan dalam perusahannya," tutur dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil