Melambungnya harga tiket penerbangan domestik sejak akhir 2018 hingga munculnya dugaan duopoli dan kartel tiket dalam struktur pasar penerbangan menjadi perhatian publik hampir sepanjang tahun ini.
Situasi ini disinyalir akibat ketidakefisienan operasional maskapai yang ditopang faktor-faktor, seperti mahalnya biaya avtur dan perawatan pesawat hingga tarif bea impor pesawat dan suku cadang.
Untuk memahami permasalahan dan situasi tersebut, Bisnis Indonesia menyelenggarakan Panel Discussion dan Focus Group Discussion dengan tema Polemics and Prospects of the Aviation Industry: Airfares, Competition and Efficiency di Hotel JS Luwansa, Jakarta belum lama ini.
Terkait dengan permasalahan tinggi harga tiket, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengingatkan bahwa industri penerbangan harus sustainable. Namun di saat yang sama, publik juga harus paham mengenai daya jangkau masyarakat.
Baca Juga: KPPU Harus Bongkar Dugaan Kartel Garuda-Lion
"Maka yang pemerintah upayakan dan perhatikan adalah perlunya titik temu atau titik ekuilibrium yang mempertemukan kebutuhan industri dan masyarakat itu," kata dia.
Direktur Angkutan Udara Kemenhub Maria Kristi Endah menyatakan, ada sejumlah pokok bahasan yang menjadi perhatian dalam diskusi, yakin permasalahan harga tiket, penyebab lonjakan harga tiket, komponen pembiayaan tiket, serta struktur pasar penerbangan.
"Perhitungan struktur biaya penerbangan dan tiket sudah kami lakukan dengan sangat teliti dan detail dan kami evaluasi setiap tiga bulan sekali bersama perusahaan maskapai penerbangan," papar Maria.
Ketua Peneliti Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Wismono Nitidihardjo menyatakan, struktur biaya penerbangan banyak didominasi oleh mahalnya biaya operasional, yang salah satunya dipicu oleh harga avtur di Indonesia yang lebih mahal dibandingkan negara tetangga Asean.
"Selama ini avtur kita mahal karena ada komponen impornya yang masih dominan," ujarnya.
Kepala Riset Ekonomi Digital dan Ekonomi Tingkah Laku LPEM FEB UI, Chaikal Nuryakin melihat negara-negara Asean saat ini telah berada di era Open Sky Policy yang menerapkan Asean Single Aviation Market (ASEAN-SAM). Namun, kondisi pasar domestik justru menghadapi barrier to entry, seperti aturan jumlah minimum lima pesawat, besaran modal, serta larangan single majority bagi kepemilikan asing.
Baca Juga: Airbus: Maskapai Butuh 39 Ribu Pesawat Baru 20 Tahun Mendatang
"Faktor-faktor tersebut menghambat keterbukaan pasar," ujar Chaikal.
Principal Consultant in Aviation, Ian Ventures Sdn Bhd, Jaafar Zamhari membagi pandangan dengan industri maskapai penerbangan di Malaysia. Menurut dia, Malaysia sudah mengizinkan maskapai beroperasi, cukup dengan minimal empat pesawat, dua dimiliki sendiri, dua lagi diperkenankan leasing. Pemerintah Malaysia juga memberikan keringangan bea impor suku cadang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: