Harga minyak sawit mentah (CPO) yang terus menurun, telah menyebabkan banyak persoalan bagi industri minyak sawit nasional. Pasalnya, merosotnya harga CPO itu menimbulkan persoalan lanjutan bagi pengelolaan keberlanjutan yang dibutuhkan perkebunan kelapa sawit nasional. Oleh sebab itu, strategi nasional dibutuhkan guna mencegah terjungkalnya harga jual CPO lebih lanjut.
Ketidakpastian adanya pasar sebagai pembeli CPO, juga menyebabkan muramnya bisnis minyak sawit baru-baru ini. Guna terus mempertahankan pasar CPO ditingkat global, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sepakat untuk tidak melakukan pungutan ekspor sawit sampai akhir tahun 2020.
Langkah ini diambil sebagai bentuk upaya dalam mempertahankan harga CPO global, yang dampaknya tentu saja secara langsung akan dirasakan petani kelapa sawit nasional. Apalagi, harga CPO global masih tercatat berfluktuatif. Pungutan baru akan diberlakukan apabila ada kepastian harga akan naik.
Baca Juga: Petani Sawit Mesti Sumringah, Pemerintah Siapkan Rp25 Juta
Direktur BPDP-KS, Herdrajat Natawijaya mengatakan, pihaknya telah melaporkan keputusan tersebut kepada Presiden. Ia percaya begitu dikenakan pungutan 50% itu, harga akan turun. Artinya, para petani atau produsen kelapa sawit akan menerima harga lebih rendah lagi.
"Kemungkinan besar pemberlakuan pungutan yang paling tepat yaitu ketika B30 akan efektif berjalan pada 1 Januari 2020. Pada saat itu akan terjadi kenaikan penggunaan CPO, karena volume penggunaan CPO untuk B30 akan bertambah sekitar 3 juta ton dibandingkan saat digunakan sebagai B20," katanya, dalam acara FGD Minyak Sawit Berkelanjutan: Diskusi Sawit Bagi Negeri Vol 4 dengan tema Petani Butuh Keberlanjutan Harga CPO Naik, Kamis (26/9/2019) di Jakarta yang diadakan Media InfoSAWIT.
Guntur Cahyo Prabowo dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mengungkapkan, pihaknya mencoba untuk mensinergikan pengembangan praktik minyak sawit berkelanjutan ditingkat petani dengan pelaku usaha. Cara tersebut diharapkan bisa membantu petani dalam memangkas rantai pasok perdagangan. Tandan Buah Segar (TBS) sawit, sehingga pembelian harga tingkat petani tidak dilakukan pihak ketiga (perantara), lantaran cara demikian berdampak pada terpangkasnya harga.
Baca Juga: Gapki dan JABPUSI Sepakat Tingkatkan Kesejahteraan Petani Sawit
Sebab itu, dengan menerapkan skim berkelanjutan, petani bisa memiliki kesempatan untuk akses informasi dan penjualan langsung ke pabrik kelapa sawit. Kendati sertifikasi mungkin bukan satu-satunya jawaban atas masalah tersebut, namun sertifikasi minyak sawit berkelanjutan itu dapat dijadikan salah satu alternatif guna membuka akses untuk petani sawit swadaya. Terutama akses terhadap kemitraan pengolahan TBS bersertifikat yang dihasilkan oleh petani swadaya.
“Selain akses pasar, peluang dukungan peningkatan kapasitas dari pabrik dan pula pihak lain seperti pemerintah juga terbuka cukup lebar,” katanya.
Tercatat hingga saat ini, sudah ada sekitar 30 kelompok petani Swadaya bersertifikat RSPO.Namun jika dibandingkan dengan jumlah total luas lahan yang dikelola oleh petani swadaya di Indonesia, maka pencapaian ini jauh. Untuk itu, sangat penting dilakukan mengakselerasi implementasi standar minyak sawit berkelanjutan.
Sekadar catatan sampai saat ini sebanyak 20% dari total pasokan minyak sawit di dunia sudah tersertifikat minyak sawit berkelanjutan versi RSPO. Di mana, sebanyak 55% berasal dari minyak sawit berkelanjutan asal Indonesia. Sementara, untuk jumlah petani sawit swadaya dan plasma yang tersertifikat telah mencapai 0,15% dari total minyak sawit berkelanjutan, banyaknya petani sawit swadaya berjumlah 3.371 petani, dan petani plasma sekitar 117.673 petani.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Clara Aprilia Sukandar