Konflik Indonesia-India mengenai perubahan tarif masuk minyak sawit (crude palm oil/CPO) asal Indonesia dan produk turunannya (refined, bleached, deodorized palm oil/RBDPO) sudah menemukan titik terang.
India tidak menurunkan tarif masuk CPO asal Indonesia, namun justru membebankannya ke Malaysia dengan menaikkan tarif masuk CPO dan RBDPO asal Malaysia masing-masing 4% sehingga menjadi 44% dan 54%.
Penyamaan tarif ini merupakan komitmen Indonesia-India di bawah perjanjian ASEAN-India Free Trade Agreement (AIFTA), sedangkan keringanan yang diberikan India ke Malaysia karena kedua negara memiliki perjanjian dagang bilateral India and Malaysia Implement Comprehensive Economic Cooperation Agreement (IMCECA).
Baca Juga: Memanfaatkan Serangga untuk Dorong Produktivitas Sawit
Peluang ekspor CPO Indonesia diprediksi akan meningkat pesat setelah adanya penyetaraan tarif masuk oleh India. Selain itu, kondisi ini juga dapat menjadi sinyal baik bagi Indonesia untuk mendorong daya beli dengan memperluas pasar ekspor.
Pemerintah melalui Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, menyatakan, "mendorong daya beli menjadi salah satu harapan kita untuk bisa menggenjot ekspor CPO. Nah, India memang selama ini sudah menjadi pasar utama CPO, tapi ini didorong dengan volume yang lebih tinggi lagi".
Selain India, pangsa pasar Afrika masih terbuka lebar dan potensial untuk dijadikan target pasar ekspor CPO selanjutnya dan perlu digali lebih dalam.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kadin Sumut Bidang Investasi dan Promosi, Jonner Napitupulu, mengatakan pihaknya membuka peluang investasi bagi pengusaha-pengusaha kelapa sawit untuk memasuki pasar di kawasan Afrika mengingat kawasan Afrika khususnya kawasan Afrika Timur memiliki pangsa pasar yang potensial.
"Apalagi Indonesia menjadi negara eksportir minyak kelapa sawit terbesar dengan pangsa pasar sebesar 54,19% diikuti Malaysia sebesar 29,27%. Sementara itu, untuk negara importir CPO dengan pangsa pasar terbesar yakni India sebesar 19,69%, China 10,31%, dan Pakistan 6,18%. Kendati begitu, dalam lima tahun terakhir, ekspor CPO Sumut mengalami tren penurunan," paparnya.
Penurunan ekspor tersebut disebabkan adanya isu terkait perubahan tarif masuk CPO dan produk turunannya oleh India, tensi perang dagang AS-China yang belum mereda, black campaign dari Uni Eropa meliputi isu deforestasi kelapa sawit dan penghapusan kebijakan biodiesel pada tahun 2030 mendatang di pasar Eropa, serta melimpahnya stok global minyak nabati lain seperti minyak kedelai (soybean oil/SBO) dan minyak biji bunga matahari (sunflower oil/SFO).
Jonner Napitupulu menambahkan, "Untuk itu, pengusaha kelapa sawit perlu mencari pangsa pasar baru selain di negara tujuan utama seperti India dan China. Kelapa sawit memiliki potensi pasar yang cukup besar di Ethiopia. Ekspansi ke luar negeri diperlukan untuk mengembangkan kemampuan, menggali, dan memperluas jaringan bisnis yang saling menguntungkan."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: