Pro dan kontra pelemahan KPK yang sempat mengambil tempat di ranah publik kini mulai sirna. Isu penegakan hukum antikorupsi yang diperjuangkan mahasiswa dan masyarakat sipil menghilang dan terhapus oleh isu lobi-lobi partai politik.
Keadaan ini menandakan lemahnya masyarakat sipil untuk berjuang dalam demokrasi, yang semakin oligarkis seperti sekarang ini. Itu juga pertanda penegakan hukum ke depan semakin tidak pasti.
Demikian diungkapkan Fachru Nofrian, ekonom di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Menurutnya, lembaga negara seperti KPK sangat menentukan baik-buruknya negara ini ke depan. Eksistensi KPK juga menentukan citra dan sejarah rezim pemerintahan ini ke depan.
Baca Juga: UU Baru Segera Berlaku, KPK Yakin Besok Gak Bisa OTT Lagi
Kasus revisi UU KPK yang tiba-tiba sukses, menurut Fachru, terjadi karena gerilya DPR dan seluruh partai di DPR RI. Kasus itu kemudian mengundang keberatan dan protes hampir seluruh elemen masyarakat, mulai dari tokoh senior hingga pelajar, mulai dari partai politik hingga intelektual dan artis hingga ahli hukum.
"Mereka membela KPK untuk menjadi lembaga yang kuat demi demokrasi dan reformasi," ungkap Fachru kepada media baru-baru ini.
Namun, menurut Fachru, narasi yang berkembang di suluruh sudut nuansa publik adalah penguatan kelembagaan KPK. Tetapi praktik ekonomi politik hukum yang terjadi adalah kontradiksi, yakni pelemahan KPK.
Tentu pemerintahan yang ada sekarang tidak mau dianggap melemahkan KPK di dalam sejarah. Namun, kenyataannya berbeda, di mana DPR bersama pemerintah dalam hal ini presiden terus tidak bergeming untuk melakukan revisi, yang substansinya adalah pelemahan KPK.
Dengan situsasi tersebut, bagaimana ekonomi politik atau hubungan ekonomi dengan politik hukum terkait kelembagaan KPK, yang dinilai melemah sekarang ini?
Menurut Fachru, memang benar bahwa ekonomi makro secara harfiah adalah masalah dinamika variabel konsumsi, investasi, dan pertumbuhan. Namun, secara holistik ekonomi tidak hanya itu, sebab ada institusi non-ekonomi lain, yang berpengaruh dan bertali-temali dengan faktor-faktor ekonomi.
"Sebab pasar dan lembaga negara merupakan satu kesatuan institusi, yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kemajuan ekonomi secara keseluruhan," ujar Alumni Maison des Sciences Economique, Centre d'économie de la Sorbonne, Paris, Perancis ini.
Isu KPK yang mencuri perhatian saat ini, lanjut Fachru, adalah institusi negara yang berperan langsung menjaga anggaran negara dari korupsi aparat-aparat yang terlibat di dalamnya. Sekarang telah terjadi proses tarik-menarik ekonomi politik di dalam institusi negara yang melemahkan dan berhadapan dengan masyarakat sipil yang hendak menjaganya.
"Kuat atau lemahnya KPK seharusnya mencerminkan fungsi negara yang bekerja sebagaimana mestinya dan pada gilirannya akan memengaruhi pertumbuhan dan distribusi pendapatan," tegas Fachru.
Dengan kondisi KPK sekarang ini, menurut Fachru, maka fungsi negara menjadi kabur, di mana pemberatasan korupsi oleh negara akan melemah. Kelemahan institusi seperti itu akan mengganggu perekonomian, khususnya implementasi anggaran negara.
Ekonomi publik secara keseluruhan akan terganggu menjadi semakin tidak efisien. ICOR Indonesia sudah paling tinggi di antara negara-negara Asean, namun dengan KPK yang lemah dan pemerintahan yang tidak bersih, maka kondisi ekonomi makro akan semakin tidak efisien.
Ada empat pandangan tentang negara sebagai institusi makro pembangunan. Pertama, negara yang turun langsung melakukan peran pelaku ekonomi dalam rangka pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sini, negara berperan sebagai antitesa pasar yang bertugas menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat.
Baca Juga: TOP!! Jelang Diberlakukan UU Baru, KPK Hattrick OTT dalam 2 Hari
Kedua, negara yang berperan secara tidak langsung dalam aktivitas ekonomi dan memastikan sirkulasi ekonomi berjalan lancar. Ketiga, negara yang diserap pasar dan memastikan pasar yang efektif dan efisien. Keempat, pasar adalah konstruksi negara yang dibuat dengan mekanisme tertentu.
Dalam konteks ini, siapa pun lembaga yang mengurusi pemberantasan korupsi akan efektif jika negara juga efektif. Jika negara tidak efektif dan tidak efisien, mungkin akan beralih ke bentuk lain yang lebih sesuai. Sebut saja pengalaman negara-negara besar, mulai dari Amerika Serikat, negara zona Euro, Jepang hingga Uni Soviet.
"Di negara-negara itu, institusi negara berfungsi sebagaimana mestinya," jelas Fachru.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: