Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kementan Siap Masifkan Program 'Early Warning System'

Kementan Siap Masifkan Program 'Early Warning System' Kredit Foto: Ist
Warta Ekonomi, Purwakarta -

Kelangkaan dan over produksi  menjadi salah satu persoalan klasik di sektor pertanian. Tak terkecuali untuk komoditas hortikultura. Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Hortikultura saat ini tengah merancang 'Early Warning System (EWS)'. Sebuah sistem 'alarm' untuk menjaga stabilitas dan pasokan komoditas hortikultura di masyarakat. 

 

Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto mengatakan, EWS diharapkan menjadi guidance bagi para pemangku kepentingan, untuk memantau ketersediaan komoditas di pasaran. 

 

Anton-sapaannya- lantas menceritakan pengalaman di 2017. Saat itu, harga cabai pada awal tahun tersebut menyentuh angka Rp 250 ribu per kilogram. 

 

"Bayangkan setara dua kilogram daging sapi," ujar Anton saat membuka acara seminar terkait budidaya bawang merah bertajuk ”Capacity Building and TSS Technology Adoption” di Pabrik PT East West Seed lndonesia (EWINDO), Desa Benteng, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Purwakarta, Kamis (13/11).

 

Baca Juga: Kementan Serius Atasi Alih Fungsi Lahan Pertanian Guna Akselerasikan Kedaulatan Pangan

 

Pun saat Agustus hingga September kemarin. Harga Si Pedas sempat menembus level di atas Rp 100 ribu. 

 

"Di sisi lain ketika bulan Maret dan April, harga anjlok di kisaran Rp 3.000 - Rp 5.000. Stok di pasar berlebih," jelas alumnus doktoral Universitas Putra Malaysia tersebut. 

 

Anton mengungkapkan, melalui EWS nanti, kelangkaan, over produksi, hingga persoalan gejolak harga bisa diminimalisir. 

 

Sebab, nantinya tim EWS di tingkat pusat akan berkoordinasi dengan daerah mengkaji secara komprhensif, kebutuhan suatu daerah selama 4-5 bulan ke depan. 

 

"Berapa kebutuhan produksinya, berapa luas lahan tanamnya, hingga kebutuhan bibit maupun lainnya," cetus dia. 

 

Artinya dengan Early Warning System, daerah tahu prediksi kebutuhan masyarakatnya, terutama soal suply and demand-nya seperti apa. "Jadi sudah terdata. Dianalisis potensi harganya. Hasilnya kemudian kami berikan kepada daerah untuk menjadi bahan di lapangan," beber Anton. 

 

Baca Juga: Syahrul Tegaskan Persiapkan War Room Kostra Tani di Kementan

 

Dalam kesempatan itu, Anton juga mengunjungi sejumlah lokasi produksi benih PT EWINDO. Mulai dari tempat penyemaian benih, lokasi tanam, hingga pengemasan benih. "Peran swasta seperti PT EWINDO amat penting ya. Misalnya mengkampanyekan teknik menanam TSS. Ini sejalan dengan apa yang kami sedang kampanyekan," ungkapnya. 

 

Program EWS yang tengah dirintis Ditjen Hortikultura sejatinya turunan dari visi yang digagas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Yakni terkait pembentukan Pusat Komando Strategis Pertanian (Konstran). Salah satu agenda besarnya adalah bagaimana negara memiliki basis data pangan yang terintegrasi. Tidak tumpang tindih satu sama lain. 

 

"Single data. Maka dari itu Pak Menteri (Pertanian) menginstruksikan sinkronisasi data dengan sejumlah Kementerian/Lembaga terkait. Termasuk hortikultura. Punya single data. Mulai dari pusat sampai ke daerah. Karena kebijakan tanpa data akurat, kebijakannya tidak akurat," lanjutnya. 

 

Selain single data, salah satu wujud dari konstran adalah agriculture war room. Pusat kontrol untuk memantau dan mengkoordinasikan segala aktivitas pertanian. Mulai dari pusat hingga daerah. 

 

"Targetnya dalam 100 hari pertama ini terbentuk 500 Konstratan, dan dalam lima tahun ditargetkan menjadi 5.000 Konstratan se-Indonesia," jelas Anton. 

 

Managing Director Ewindo, Glenn Pardede mengatakan, pihaknya terus mendorong teknik budidaya bawang merah TSS menggunakan benih atau biji. "Bukan bibit/umbi yang selama ini selalu mereka gunakan," ujar dia kepada awak media. 

 

Glenn menjelaskan, Teknik TSS ini mampu menciptakan pertanian yang efektif bagi petani sehingga bisa menghemat biaya produksi dan peningkatan produktivitas. 

 

Dia memaparkan, perbedaan budidaya menggunakan TSS dan konvensional adalah jika menggunakan sistem konvensional, kebutuhan bibit mencapai 1,5 ton per ha senilai Rp 45 juta. "Sedangkan jika menggunakan TSS hanya memerlukan 5 kg benih dengan biaya sekitar Rp 10 juta per hektare," ungkap dia. 

 

Glenn memaparkan bahwa selain menekan biaya produksi, jika petani dapat menerapkan teknik budidaya bawang merah dari biji maka akan mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian umbi bibit. "Selama ini ketergantungan petani terhadap umbi bibit saja membuat Pemerintah terpaksa harus mengimpor bibit bawang sedikitnya 1.500 ton pada tahun 2016,” tambah Glenn Pardede. 

 

Baca Juga: Mantap Jiwa! Ekspor Holtikultura Indonesia Tembus Pasar China!

 

Selain itu, dengan menanam bawang merah dari biji petani akan mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, kata Glenn, biaya transportasi lebih murah karena berbentuk biji. Kedua, benih bisa lebih lama disimpan dalam storage (maksimal 2 tahun) selama tidak terkena sinar matahari. Sementara, dengan sistem konvensional, umbi hanya bisa disimpan antara 2-4 bulan. 

 

Ketiga, lebih sedikit terserang penyakit karena benih tidak membawa bulb borne disease seperti virus dan jamur. Selain itu, pemakaian pupuk pun menjadi lebih efisien. 

 

Adapun Ewindo telah memperkenalkan TSS sejak tahun 2007 dan telah memiliki varietas-varietas benih bawang merah seperti Lokananta dan Sanren F1. 

 

“Pengenalan cara baru budidaya bawang merah Ini merupakan sumbangsih kami dalam memacu pertumbuhan dan kemajuan bidang Agro lndustrl khususnya budidaya hortikultura di indonesia. Kami berharap dengan budidaya ini akan mampu mendorong peningkatan kesejahteraan petanl bawang merah di lndonesia,” tutup Glenn. 

 

Sanren F1 adalah varietas bawang merah yang ditemukan oleh peneliti indonesia dengan sifat unggul antara lain mampu berproduksi maksimal di musim kering dan penghujan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: