Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Stop Retorika Pemberantasan Mafia Migas, Segera Adili Ahok!

Oleh: Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)

Stop Retorika Pemberantasan Mafia Migas, Segera Adili Ahok! Kredit Foto: Antara/Wahyu Putro A

Mantan anggota TRTKM Fahmy Radhi mengatakan pada masa pemerintahan SBY, nama MR sering disebut atas dugaan keterkaitan sebagai pihak ketiga, yakni dalam kasus pengadaan minyak selama periode 2012-2014 di Petral. “Sesungguhnya dulu tim kami (TRTKM) ke KPK, kemudian melapor ke Bareskrim, kami melakukan konfirmasi ternyata ditemukan kesamaan, inisialnya MR,” kata Fahmy (Tempo.co 11/11/2015).

Berdasarkan temuan KordaMentha, jaringan mafia migas itu menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau Rp 250 triliun selama tiga tahun. "Tuan MR" ini, melalui perusahaannya, menjadi perantara pengadaan minyak negara. Tuan MR pengusaha besar yang memiliki perusahaan di Singapura. Akibat ulah para mafia migas, Pertamina tidak memperoleh harga terbaik dalam pengadaan minyak atau jual-beli produk BBM-nya.

Meskipun temuan KordaMentha dan penyebutan nama MR ini telah beredar bertahun-tahun, ternyata MR justru “sempat datang” menghadiri undangan pesta pernikahan putra pertama Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Solo pada 11 Juni 2015. Saat itu MR juga sempat berbicara akrab dengan Presiden Jokowi.

Polemik tentang MR kembali mencuat setelah dia hadir pada kuliah umum Presiden Jokwi pada acara Partai Nasdem, di Jakarta (16/7/2018). Padahal, pada Januari 2016, Kejagung mengaku kesulitan menghadirkan MR untuk dimintai keterangan terkait kasus "Papa Minta Saham" yang “mencatut” nama dan sempat membuat berang Presiden Jokowi. Publik heran bagaimana bisa Presiden Jokowi tidak bereaksi soal protes publik terhadap hadirnya MR pada acara Nasdem. Padahal dalam acara kuliah umum itu Jokowi menjadi pembicara utama.

Kasus Papa Minta Saham memang telah ditutup Kejagung karena alat bukti tidak relevan. Tuan MR pun lolos dari proses penyelidikan. Namun meskipun nama Tuan MR sudah cukup dikenal terkait dengan mafia migas, Presiden Jokowi masih berkenan mengundangnya ke Solo pada 11 Juni 2015 dan sempat pula hadir bersama pada acara yang diadakan Partai Nasdem pada 16 Juli 2018. Jadi, janji memberantas mafia hanya sekedar retorika?

Retorika Baru: Ahok akan Berantas Mafia Migas!

Pada akhir November 2019 publik dikejutkan rencana pemerintah mengangkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Komisaris Utama (Komut) Pertamina. Ahok yang diberi gelar hiperbolis “si pendobrak” dan “salah satu putra terbaik bangsa” oleh Kementrian BUMN digadang-gadang menjadi jalan keluar bagi pemerintah memberantas mafia migas.

Lho, ternyata mafia migas si penghisap rakyat masih bergentayangan? Bukankah Jokowi pernah menyatakan pada Debat Capres 2019 telah berhasil memberantas mafia migas melalui pembubaran Petral? Jika diakui mafia migas masih bergentayangan, sehingga Ahok “dibutuhkan” memberantas, maka pernyataan keberhasilan yang diklaim oleh Capres No.1 pada saat Debat Capres 2019 dapat pula dianggap hanya sekedar retorika!

Terlepas bahwa pemberantasan mafia migas merupakan retorika baru dalam rangka menjustifikasi “pengangkatan” Ahok, rakyat harus sadar ketegasan Ahok semasa menjabat Gubernur DKI tidak serta merta bisa menjadi jaminan akan mampu memberantas mafia migas. Sebab, upaya pemberantasan mafia migas sudah dilakukan Jokowi melalui pembentukan TRTKM pada November 2014. Belum lagi bicara tentang siapa Ahok.

KordaMentha telah menghasilkan temuan berbagai pelanggaran mafia migas dan siap dilaporkan kepada KPK. Tetapi justru Jokowi mengurungkan proses yang sudah berjalan baik tersebut, entah karena apa dan siapa. Jika committed memberantas mafia migas, mestinya laporan ke KPK tersebut sudah dilakukan sejak akhir 2015 yang lalu.

Narasi Ahok bisa memberantas mafia migas adalah narasi retoris. Sebab, jabatan Ahok hanyalah Komut, bukan Direksi yang berwenang membuat dan mengeksekusi kebijakan. Jangankan direksi, atau Menteri, presiden saja “gagal” menindaklanjuti temuan audit forensik. Apalagi hanya sekedar Komut yang tidak punyai wewenang eksekusi dan penegakan hukum!

Ahok bukan saja wewenangnya jauh di bawah presiden, tetapi juga tidak qualified menjadi Komut Pertamina. Ahok adalah terduga koruptor kasus korupsi Rumah Sakit Sumber Waras yang telah memiliki bukti lebih dari cukup untuk diproses di pengadilan. Hanya karena dilindungi KPK-lah, dengan menyatakan Ahok tidak punya niat jahat, maka Ahok bisa bebas jerat hukum. NKRI, UUD 1945 dan KPK sudah dikangkangi Ahok dan para pendukungnya!

Ahok pun terlibat berbagai kasus dugaan korupsi seperti kasus Tanah BMW, Reklamasi Teluk Jakarta, Tanah Cengkareng Barat, Pengadaan UPS, dan lain-lain, serta kasus dana off-budget yang minimal melanggar UU Keuangan Negara No.17/2003, UU Perbendaharaan Negara No.1/2004, dan PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ahok pun melanggar prinsip GCG karena pernah dipenjara, tidak memenuhi persyaratan etika sesuai Permen BUMN No.02/2015, sehingga mestinya Ahok tidak lolos menjabat Komut Pertamina.

Saat membuka Hari Antikorupsi Sedunia di Jakarta (4/12/2019) Jokowi antara lain mengatakan agar gerakan antikorupsi menjadi gerakan bangsa yang dilakukan institusi negara, civil society dan masyarakat luas. Hal itu merupakan upaya membangun Indonesia maju yang produktif, inovatif dan efisien. Bagi kita, retorika sudah tidak dibutuhkan. Kita butuh langkah konkrit Jokowi menindaklanjuti audit KordaMentha guna memberantas mafia migas. Bukti-bukti dugaan korupsi dan tidak qualifiednya Ahok pun sudah begitu gamblang. Sekarang saatnya menurunkan Ahok dari Komut Pertamina untuk segera diproses hukum.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: