Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perbankan dalam Pembiayaan Iklim: Antara Prestasi dan Rapor Merah

Perbankan dalam Pembiayaan Iklim: Antara Prestasi dan Rapor Merah Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Warta Ekonomi, Jakarta -

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan peta jalan (roadmap) keuangan berkelanjutan 2015-2019 pada 5 Desember 2014 lalu. Salah satu komponen utama dalam peta jalan ini adalah Peraturan OJK (POJK) nomor 51 tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. 

Peraturan ini mewajibkan bank yang beroperasi di Indonesia menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan dan menerbitkan Laporan Keberlanjutan tahunan terkait pengelolaan risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) terhadap pembiayaan yang disalurkannya.

Baca Juga: Bersih-Bersih OJK Sehatkan Pasar Modal

Lima tahun setelah implementasi roadmap tersebut, lembaga jasa keuangan (LJK) atau bank diketahui masih mengucurkan kredit ke sejumlah perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia.

Berdasar laporan bertajuk Tinjauan atas Reformasi Keuangan Berkelanjutan di Indonesia, yang dirilis bersama-sama oleh lima organisasi lingkungan (11/12/2019), grup perusahaan yang terlibat dalam kebakaran sepanjang 2019 telah menerima sedikitnya Rp262 triliun atau US$19 miliar dalam bentuk utang dan penjaminan dari perbankan sejak 2015.

Studi yang dilakukan Rainforest Action Network (RAN), Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Profundo ini, menyebut Bank Rakyat Indonesia (BRI), Maybank, dan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai tiga bank penyuntik dana individual terbesar.

BRI mengguyur sekitar US$1,723 juta ke Provident Agro Group, Rajawali Group, Sampoerna Group, Sinar Mas Group, juga Sungai Budi Group. Lalu Maybank sebanyak US$1,120 juta ke Sinar Mas Group, Sungai Budi Group, Batu Kawan Group, Genting Group, Harita Group. Royal Golden Eagle Group, dan TDM. Sementara BNI senilai US$1,057 juta ke Rajawali Group, Sinar Mas Group, dan Sungai Budi Group.

Asal tahu saja, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan, selama 2019 hingga September lalu, kebakaran hutan dan lahan mencapai 857.756 hektare. Terdiri dari 630.451 hektare lahan mineral dan 227.340 hektare di gambut. 

Ratusan bahkan jutaan orang terpaksa menghirup udara beracun sisa pembakan lahan. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), masyarakat terserang ISPA sejak Februari-September 2019, sekitar 919.516 jiwa.

Resah melihat fakta di atas, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Edi Sutrisno angkat suara. Ia menilai LJK, termasuk bank, turut bertanggung jawab atas kejadian karhutla di negeri ini. Regulator LJK pun dituntut memantau kinerja para bank secara lebih ketat.

"Lembaga keuangan saat ini mengabaikan kewajiban mereka, regulator keuangan seperti OJK harus melakukan pengawasan secara ketat dan mewajibkan bank melakukan review pembiayaan," papar Edi.

Lanjutnya, "Bagi perusahaan yang memiliki kinerja LST yang buruk dan tidak dapat diperbaiki, ini perlu ditinggalkan. Sementara, perusahaan dengan dampak LST positif, pembiayaan perlu ditingkatkan."

Senada, Muhammad Kosar dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menyebut, komitmen keuangan berkelanjutan dari perbankan masih perlu ditegaskan kembali, baik standar maupun pengawasan dari OJK.

"Bank-bank yang memberikan pinjaman kepada perusahaan yang belum berkomitmen terhadap NDPE (No Deforestation, No Peat, and No Exploitation) hanya akan menciptakan reputasi buruk pada bank itu sendiri," tutur Kosar dalam sebuah diskusi belum lama ini di Jakarta.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: