Hengkang dari Uni Eropa, Berikut Konsekuensi yang Ditanggung Inggris
Inggris resmi hengkang dari Uni Eropa (Brexit) pada Jumat (31/) pukul 23:00 waktu setempat atau Sabtu (1/2) pukul 06:00 WIB. Presiden Dewan Eropa Charles Michel memperingatkan bahwa pasca-hengkang, akses Inggris ke pasar Eropa akan dibatasi.
"Semakin banyak Inggris menyimpang dari standar Uni Eropa, semakin sedikit akses ke pasar tunggal yang dimilikinya," kata dia, Jumat (31/1).
Baca Juga: PM Inggris: Brexit adalah Awal
Wakil Perdana Menteri Irlandia Simon Coveney mengatakan Inggris dan Uni Eropa akan berjuang cukup keras untuk mencapai kesepakatan dagang selama periode transisi 11 bulan. "Terlalu banyak (hal) untuk disepakati," ujarnya.
Pemimpin Partai Buruh Inggris Jeremy Corbyn menyebut bahwa saat ini Inggris berada di persimpangan. Dia menegaskan partainya akan meminta pemerintah untuk mempertanggungjawabakan setiap langkah yang diambilnya.
Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon tampaknya tak puas dengan resminya Inggris hengkang dari Uni Eropa. Sebab hal itu melawan atau tak sejalan kehendak mayoritas rakyatnya.
Menurutnya Skotlandia memiliki prospek masa depan yang lebih cerah dan lebih baik sebagai bangsa Eropa yang setara serta merdeka. Belum lama ini, Sturgeon diketahui telah meminta izin dari Boris Johnson untuk menghelat referendum kemerdekaan.
The European Securities and Markets Authority (ESMA) mengatakan akan memeriksa bagaimana Inggris menerapkan aturan keuangan Uni Eropa selama periode transisi. "Dalam 11 bulan mendatang, ESMA akan terus memantau penerapan hukum Uni Eropa ke dan di Inggris serta akan memantau perkembangan dalam persiapan untuk akhir periode transisi," ucapnya.
ESMA mengatakan setelah resmi keluar, Inggris tidak akan lagi berpartisipasi dalam membuat kebijakan atau mengambil keputusan di lembaga pengawas tersebut.
Proses Brexit awalnya dijadwalkan usai pada 29 Maret tahun lalu. Namun, hal itu berulang kali ditunda karena parlemen Inggris menolak kesepakatan penarikan yang disusun dengan Uni Eropa.
Parlemen Inggris bahkan sempat menggelar voting mosi tidak percaya terhadap mantan perdana menteri Inggris Theresa May. Meskipun gagal dilengserkan melalui mosi tersebut, May akhirnya mundur dari jabatannya.
Posisi perdana menteri kemudian diisi Boris Johnson. Dia memenangkan pemilu pada Desember tahun lalu. Johnson dapat mencapai kesepakatannya sendiri melalui parlemen. Hal itu akhirnya menyudahi krisis dan argumen politik yang berlangsung selama tiga tahun terakhir.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Shelma Rachmahyanti
Tag Terkait: