Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Greta Thunberg Dinominasikan Lagi untuk Nobel Perdamaian. Tepatkah?

Greta Thunberg Dinominasikan Lagi untuk Nobel Perdamaian. Tepatkah? Climate change activist Greta Thunberg speaks at the High-Level event on Climate Emergency during the U.N. Climate Change Conference (COP25) in Madrid, Spain December 11, 2019. | Kredit Foto: Reuters/Susana Vera
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Parlemen Swedia dari Partai Kiri, Jens Holm dan Hakan Svenneling, mengajukan Greta Thunberg dalam daftar peraih Nobel Perdamaian tahun ini. Ini kedua kalinya Greta dinominasikan untuk meraih penghargaan bergengsi tersebut.

Kedua politisi menyatakan bahwa remaja 17 tahun ini telah bekerja keras untuk membuat para politisi membuka mata terhadap krisis iklim dan aksi untuk mengurangi emisi mereka dan mematuhi Perjanjian Paris juga merupakan tindakan menciptakan perdamaian.

Tahun lalu, Kepala Peace Research Institute Oslo, Henrik Urdal, menghilangkan nama Thunberg dari daftar Penghargaan Nobel Perdamaian yang dia terbitkan. Alasanya, tidak ada hubungan linear yang jelas antara perubahan iklim atau dampak yang terkait sumber daya terbatas dan konflik bersenjata.

Baca Juga: Perbankan dalam Pembiayaan Iklim: Antara Prestasi dan Rapor Merah

Akhirnya, komite memilih Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed Ali, sebagai peraih Nobel Perdamaian. Ali adalah pemimpin Afrika yang dinilai telah membuat perubahan nyata bagi jutaan rakyatnya melalui pengorbanan pribadi dan keberaniannya.

Menurut jurnalis Inggris, Damian Wilson di RT, Selasa (4/2/2020), pengecualian Greta tersebut bukanlah keputusan yang jelas. Pemenang Nobel Perdamaian sering menjadi perdebatan, tidak seperti bidang Sastra, Fisika, Kimia, Ilmu Ekonomi, dan Fisiologi atau Kedokteran yang jarang menimbulkan kontroversi.

Yang paling menggelikan adalah Barack Obama yang meraih Nobel Perdamaian pada 2009. Presiden AS yang mengakhiri dua masa jabatannya dengan mengirimkan lebih banyak pasukan AS ke luar negeri daripada saat ia pertama kali datang ke Gedung Putih.

Kemudian Aung San Suu Kyi, pemimpin Myanmar yang memenangkan Nobel Perdamaian 1991 tetapi terakhir kali ia terlihat di Mahkamah Internasional untuk membela militernya dari tuduhan melakukan genosida terhadap warga Rohingya.

Lalu sepertinya komite Nobel kehabisan tipe damai. Mereka lalu memilih institusi. Pada 2012, penghargaan perdamaian diberikan kepada Uni Eropa. "Saya yakini ini tidak seperti yang dipikirkan Alfred Nobel," tulis Wilson.

Menurut Wilson, Ali yang memenangkan gong perdamaian atas upayanya mencapai perdamaian dan kerja sama internasional, khususnya atas inisiatifnya menyelesaikan konflik perbatasan dengan negara tetangga Eritrea adalah tipe orang yang seharusnya mendapatkan penghargaan ini.

"Dia membuat perdamaian di saat perang, dan itu rumit," tulis Wilson. "Lihat saja negara-negara yang sangat membutuhkan karakter seperti itu: Libya, Yaman, Venezuela, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo. Semua tidak terlalu jauh dari Ethiopia dan Eritrea," tulisnya.

Baca Juga: Trump-Greta Bakal Bertemu di Forum Ekonomi Dunia 2020, Aktivis Muda Bawa Pesan Ini

Mungkin, organisasi Nobel dapat mencari tokoh-tokoh inspirasional yang telah atau mungkin membuat perubahan nyata untuk dicalonkan dan bahkan akan menang.

Anggota parlemen Swedia ini mendorong anak emas mereka. Padahal si anak masih bisa melakukan apa saja sebagai aktivis anak yang pemarah. Keputusan menggunakan anak 17 tahun dalam aksi politik yang buruk tidak dipikirkan terlebih dahulu.

"Tentu, berilah Greta pengakuan yang layak karena menyoroti masalah iklim dan libatkan audiens dalam kampanyenya. Tapi Penghargaan Nobel untuk Perdamaian? Tampaknya salah," tutup Wilson.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Lili Lestari
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: