Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Belajar Menjadi CEO Bersama Bos WIKA

Belajar Menjadi CEO Bersama Bos WIKA Kredit Foto: Sufri Yuliardi

Kalau berbicara tahun lalu dan tahun ini gimana bisnis WIKA, Pak?

Kalau kita lihat tahun 2019 adalah political cycle, sehingga capaian itu karena displacement mengalami penurunan, otomatis ada dampak ke kami. Itu setiap siklus lima tahunan bisa di lihat tahun 2014 kayak apa, mundur lagi 2004 kelihatan itu displacement-nya.

Tahun lalu displacement-nya dibandingkan sebelumnya jauh lebih baik. WIKA masih tumbuh bagus, jadi kalau lihat tahun 2019 dibandingkan 2017 kami masih tumbuh 26% dari net margin jadi masih okelah, karena dalam lima tahun kami memasang pertumbuhan net average growth di penjualan itu memang tidak tinggi 20%. Tapi labanya kami desain naik 35%. 

Di situlah gambaran bahwa kelolaan perusahan makin baik. Kenapa? Pertumbuhan penjualan hanya 20%, tapi 35% di laba bersih. Di 2020 ini, kami ke hit nih urusan PSAK yang harusnya di atas kertas kami desain tumbuh. Kalau tanpa dampak PSAK kami tumbuh 32%, tapi dengan dampak PSAK kami harus mencadangkan empowerment, dan itu berdampak kepada capaian kami tumbuhnya tinggal 19% dari 32%.

Sehingga kami akan ke-hit 10-11% karena dampak PSAK di aplikasi. Tapi itu enggak mengganggu, uang itu akan balik di tahun berikutnya bahwa empowerment dilakukan dengan baik, tapi akan berdampak di dalam pergerakan perusahaan dalam setahun di 2020. 

WIKA di 2020 mem-forecast apa? Satu total kontrak kami desain di angka Rp145 triliun daripada 2020. Sampai dengan posisi sekarang kami duduk ini, capaian kontrak kami sudah Rp101 triliun sampai Januari. Itu yang kami desain untuk 2020.

Tantangan apa di tahun 2020, apa karena ekonomi global atau gimana, Pak?

Ekonomi global tidak ada nge-hit secara langsung, hanya displacement aja. Karena industri ini sedang tumbuh, bahkan kalau dilihat pada 5-8 tahun ke depan Indonesia jadi empat besar pasar konstruksi dunia.

Challenge-nya pada tahun ini justru karena kami mempersiapkan perubahan, kalau saya bilang ada ekuilibrium baru di dalam proses bisnis konstruksi di Indonesia. Apa itu? Spending pemerintah kan semakin datar, terus pera swasta makin tinggi, kami WIKA enggak boleh ambil proyek yang angkanya Rp200 miliar ke bawah karena akan mengganggu keseimbangan antara private sector ke SOE.

Kedua, badan kami semakin besar, mengerjakan proyek yang kecil itu semakin tidak efisien karena operate kami sudah tertentu, sehingga itu juga tidak akan baik buat klien. Kalau kami sungguhin barang yang tidak efisien, kan enggak bagus. Sehingga yang saya bahasakan kalau WIKA tidak boleh lagi ambil proyek di bawah Rp200 miliar. Kecuali memang tugas bencana, semua bencana apa pun harus kami kerjakan.

Challenge apa? Justru challenge ke depan dengan perubahan, istilahnya ekuilibrium baru, yang akan tercipta banyaknya proyek KPBU, banyak proyek unsolicited. Di situlah tantangan kami untuk kami bisa mempersiapkan diri dalam menyongsong era baru di industri konstruksi. 

Apa itu? WIKA menyiapkan beberapa strategi. Balance sheet WIKA harus kuat, sehingga kami desain 5 bahkan 10 tahun ke depan, average gearing yang kami canangkan antara 0,9 maksimum 1,1. Itu yang kami desain. Itu penting buat kami, mendesain sebuah balance sheet untuk bisa menyongsong, istilah saya, era baru.

Nah, di dalam era baru apa yang bisa terjadi? Di saat balance sheet kami kuat, space WIKA sekarang masih dengan ekuitas Rp19 triliun. Artinya, kami mampu melakukan maksimum 2,5 kali debt equity ratio. Kami masih bisa kerja dengan total capex. Perbandingannya, kira-kira Rp60 triliun, tapi kami tidak akan pakai semua, sepertiga untuk operation biasa Rp20 triliun, Rp20 triliun lagi untuk investasi direct. Sehingga kami masih punya room. Selain operation yang normal, kami masih punya room Rp40 triliun untuk doing investasi. Itu yang kami jaga dari waktu ke waktu.

Berikutnya apa? Ekuitas kami harus tumbuh lebih, apa strateginya? Satu, supaya WIKA tidak lebih nungguin return earning. Kedua, anak-anak perusahaan harus segera IPO. Yang barangnya bagus, ya kami lakukan right issue. Yang ketiga, kami cari perpetual bond. Orang selalu tanya, perpetual kan lebih mahal, ya mahal beda 1-1,5%. Tapi kalau dari perpetual (bond) kami bisa spend (untuk) investasi, sehingga men-generate sebuah recurring income baru, kan bagus buat korporasi. Sehingga portofolio kami jaga terus, operation kami tumbuh dari waktu ke waktu. 

Kenapa saya siapin Rp20 triliun? Revenue WIKA itu di angka Rp60 triliun in between Rp52 triliun. Tahun depan akan tumbuh di angka Rp62 triliun, tumbuh rata-rata 20%. Nah, itu mendasari bahwa collection period kami harus bagus, kami jaga sepertiga dari ekuitas kami untuk kawinkan dengan utang jangka pendek. Rp40 triliun dijaga untuk utang jangka panjang, sehingga terkombinasi.

Sebagain lagi dari Rp40 triliun, tidak kami spend untuk investasi, tapi sebagian untuk membuat tumbuh di industri konstruksi. WIKA sekarang lagi membangun pabrik assembling baja terbesar di Asia, kapasitas 100 ribu ton per tahun. Itu bagian yang saya siapkan untuk IPO akhir tahun ini atau awal tahun depan untuk di PT Wijaya Karya Industri & Konstruksi (Wikon).

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: