Belum selesai soal Koperasi Hanson yang mengalami gagal bayar karena terkait kasus PT Jiwasraya, kini menyeruak kasus baru Koperasi Indosurya.
Seperti terjadi dalam kasus koperasi-koperasi sebelumnya, anggota koperasi gagal bayar itu biasanya ramai-ramai melakukan "rush" atau penarikan uangnya di koperasi karena mendengar isu-isu yang berkembang di media.
Baca Juga: Total Kerugian Akibat Kasus Koperasi Bodong Capai Rp250 Miliar
Menurut Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, bagi koperasi yang sedang kekurangan likuiditas sebetulnya bisa sangat berbahaya. Sebab begitu mendengar isu gagal bayar dari satu koperasi di media, anggota koperasi lainya bisa lakukan aksi "rush" yang sama di koperasinya.
"Kasus koperasi gagal bayar tersebut dapat berefek domino. Terutama koperasi yang tidak memiliki jaringan yang kuat secara vertikal seperti jaringan dengan pusatnya atau induknya," ujar Suroto di Jakarta, Kamis (27/2/2020).
Lebih berbahaya lagi, lanjut dia, apabila koperasi tersebut adalah koperasi palsu, koperasi tapi hanya formalitas badan hukum. Anggotanya hanya dianggap seperti nasabah biasa bukan menjadi pemilik riil koperasi yang memiliki hak penuh untuk mengendalikan koperasi.
Di koperasi simpan pinjam palsu seperti ini, kepemilikkan sesungguhnya tidak berbasis anggota. Biasanya mereka akan selalu dicalonanggotakan sampai seumur hidup dengan mengisi form calon anggota yang dimainkan oleh "pengusaha koperasi " dengan adanya aturan yang memberikan peluang untuk ini sebagaimana diatur dalam PP No. 9 Tahun 1995 Tentang Koperasi Simpan Pinjam.
"Orang mau menyimpan uangnya di koperasi palsu itu karena biasanya motif bunga yang tinggi yang diperjanjikan bukan karena aspek penting paling pokok, ikut menjadi pemilik dari koperasi," pungkasnya.
Jadi secara sederhana, koperasi simpan pinjam palsu yang bermodalkan selembar badan hukum dari Pemerintah itu sebenarnya sangat berbahaya untuk masyarakat. Tidak ada sama sekali jaminan keamanan uang anggota yang dinasabahkan itu di koperasi tersebut.
"Secara hukumpun dapat kita lihat, hampir tidak ada satu pun kasus-kasus yang menyeruak di permukaan memenangkan anggotanya dalam putusan pengadilan. Masyarakat benar-benar tertipu dan gigit jari," ucap Suroto.
Dalam berbagai kasus yang terjadi bahkan satu koperasi itu ada yang sengaja dimainkan dengan pola ponzi atau "money game". Nasabahnya diiming-imingi satu "return" yang tinggi atau kompensasi bunga yang tinggi dan kemudian sampai capai keuntungan tertentu lalu buat aksi pailit.
Pandainya lagi, "pengusaha koperasi" abal-abal tersebut biasanya sudah siapkan berbagai skenario dan sudah alihkan dana mereka ke institusi lainya yang akan sulit dilacak. Dalam beberapa kasus sebelumnya mereka bahkan sudah alihkan dana koperasi ke perusahaan yang sudah listing di bursa efek.
Masyarakat selalu menjadi korban berulang ulah koperasi palsu atau abal-abal seperti ini. Lucunya lagi, kasus yang ada itu seperti fenomena gunung es yang terus terjadi secara beruntun tidak ada henti-hentinya dan terus menambah rusak citra koperasi di masyarakat.
"Sesungguhnya, semua itu karena memang dari segi arsitektur kelembagaan koperasi kita memang sangat lemah. Sangat mendasar sekali," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: