Kholid Syeirazi dari Center For Energy Policy mengatakan, Perpres 40 tahun 2016 pasal 3 ayat 1 menyatakan dalam hal harga gas bumi sebagaimana dimaksud dam pasal 2 tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari USD 6/ MMBTU, menteri dapat menetapkan harga gas tertentu.
Artinya sesuai beleid itu bahwa harga gas USD 6 per mmbtu berlaku untuk harga dari sektor hulu bukan di titik konsumen. Dan hal itu sesungguhnya juga telah berjalan. Dimana saat ini agregat gas hulu di Indonesia di sekitar USD 5,4 - 5,8 per mmbtu. Inilah yang membuat beberapa sektor industri seperti baja, petrokimia dan pupuk sudah menikmati harga sesuai Perpres tersebut.
"Jadi sudah tepat eksekusi perpres 40/2016 di tahun 2016 sampai sekarang. Sesuai amanat perpres agregat hulunya sudah dibawah USD 6 per MMBTU," kata Kholid.
Menurut Kholid tidak fair jika pelaku industri yang tidak menjadikan gas bumi sebagai bahan baku diatas 50%, mendapatkan subsidi harga gas oleh pemerintah, seperti 3 industri yang telah menikmati harga gas sesuai perpres 40 tahun 2016. Karena sektor industri yang menerima subsidi tidak menjamin dapat memberikan kontribusi lebih besar ke perekonomian Indonesia.
"Jangan membeda-bedakan industri dengan pemberian subsidi harga gas. Kebijakan ini justru akan merusak daya saing industri kita," imbuhnya.
Ia mengungkapkan bahwa di sejumlah negara tetangga harga gas di titik konsumen yang dinikmati oleh sektor industri lebih tinggi dari USD 6 per mmbtu. Contohnya di Malaysia yang selama ini diinformasikan bahwa menikmati harga dibawah USD 6/mmbtu ternyata industri disana harus membayar harga gas diangka USD 8,08 per mmbtu. Sementara di Thailand, Vietnam harganya juga dikisaran USD 7 - USD 10 per mmbtu.
"Pemerintah sudah benar dengan membatasi harga USD 6 itu untuk titik serah di hulu. Jika harga itu dipaksakan untuk titik konsumen, sektor hilir migas kita yang akan hancur dan akhirnya pengembangan infrastruktur gas akan mandeg. Pemerintah perlu menimbang hal ini dengan lebih bijak dengan visi pengelolaan energi dalam jangka panjang." tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil