Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Duh! Harga Gas Industri Bisa Mematikan...

Duh! Harga Gas Industri Bisa Mematikan... Petugas PT Perusahaan Gas Negara (PGN) melakukan pemeriksaan rutin jaringan gas pada Meter Regulating Station (MRS) di salah satu pelanggan di kawasan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (10/12/2018). Pemerintah dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menargetkan pembangunan jaringan gas mencapai 4,7 juta sambungan rumah tangga hingga 2025. Hingga akhir 2018 jumlah jaringan gas yang dibangun dari APBN baru mencapai 443.505 sambungan rumah tangga. | Kredit Foto: Antara/Arif Firmansyah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Komisi VI DPR RI Lamhot Sinaga meminta pemerintah dan pelaku industri untuk mencari solusi bersama terkait polemik harga gas industri sektor tertentu yang tertuang dalam Perpres No. 40 Tahun 2016 mengenai penetapan harga bumi.

Menurutnya, Perpres tersebut memiliki tujuan baik, yaitu agar sektor industri tertentu tersebut, yang kinerja dan kontribusinya terus menurun terhadap perekonomian nasional, dapat berdaya saing dan tumbuh lebih kuat.

Namun, ia menegaskan kebijakan itu harus menjaga pengelolaan korporasi baik BUMN, swasta, industri dan rencana pengembangan infrastruktur yang jadi target pemerintah dapat berjalan dengan baik.

Sambungnya, ia berharap kebijakan ini jangan sampai mematikan pengembangan pemanfaatan energi gas bumi dan mengurangi daya tarik investasi, baik di sektor hulu maupun hilir migas. Ini penting mengingat pembangunan infrastruktur hilir gas bumi dan eksplorasi lapangan baru migas memiliki posisi yang sangat strategis untuk mewujudkan kemandirian energi nasional. 

"Tidak akan sehat jika tujuh sektor industrinya tumbuh tapi badan usaha pengelola migas menjadi terkendala sustainability usahanya sehingga energi hanya dinikmati segelintir pihak karena infrastruktur tidak terbangun optimal dan merata menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Termasuk dengan investasi hulu yang terganggu karena harga migas tidak masuk keekonomian bisnis. Itu malah berbahaya," jelasnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (3/3/2020).

Baca Juga: Kecolongan Corona, DPR Prihatin: Penjagaan Perbatasan RI Lemah, Petugas Gak Teliti

Baca Juga: Energi Terbarukan Melimpah, Menteri Arifin Optimis Wujudkan Kemandirian Energi

Lebih jauh Lamhot menjelaskan, ketergantungan Indonesia dari energi impor harus disikapi dengan kebijakan strategis. Dengan cadangan gas bumi yang jauh lebih besar daripada minyak bumi, sudah seharusnya Indonesia memprioritaskan pembangunan infrastruktur gas. Apalagi sampai hari ini di industri hilir gas, jaringan infrastruktur gas belum tersambung secara merata di banyak wilayah di Indonesia.Ia kemudian mencontohkan jaringan pipa di Sumatera, Jawa Bagian Tengah dan beberapa lokasi di Kalimantan serta Sulawesi yang belum tersambung gas. 

Menurutnya, dengan iklim investasi di hulu yang menarik dan ada jaminan pengembalian investasi di hilir gas bumi akan memberikan kepastian pengembangan infrastruktur gas, maka diharapkan akan semakin banyak pelaku industri di berbagai wilayah yang dapat menikmati gas bumi.

"Jangan sampai gas bumi hanya dinikmati pelaku industri tertentu saja di daerah tertentu. Apalagi beberapa sektor industri strategis sebenarnya sudah menikmati harga gas USD 6 sesuai Perpres 40 tahun 2016 itu. Jangan juga kebijakan pemerintah justru merugikan dan mematikan BUMN. Harga gas USD 6/MMBTU sebaiknya lebih diutamakan ke industri atau BUMN yang menggunakan gas sebagai bahan baku (raw material) seperti industri pupuk dan BUMN yang sedang tak sehat seperti Krakatau Steel," ujar Lamhot.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: