Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Wah! Penelitian Ini Ungkap 70 Tahun Terakhir Rotasi Bumi Melambat Hampir 30 Menit

Wah! Penelitian Ini Ungkap 70 Tahun Terakhir Rotasi Bumi Melambat Hampir 30 Menit Artist’s impression of the planet K2-18b, its host star and an accompanying planet in this system. | Kredit Foto: ESA/Hubble, M. Kornmesser
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebuah penelitian mengungkap, bahwa dalam 70 juta tahun terakhir, rotasi Bumi telah melambat hampir setengah jam. Dari penelitian itu ditemukan, bahwa 70 juta tahun lalu, hari di Bumi tidak sampai 24 jam dalam sehari.

Hal itu diungkapkan para ilmuwan yang mempelajari pita pertumbuhan dalam fosil moluska (kerang) yang hidup tidak lama sebelum dinosaurus punah.  Kerang itu berasal dari kelompok yang telah punah yang dikenal sebagai kerang rudist. Menurut ilmuwan, kerang ini telah ada sekitar 65 juta tahun lalu. Kerang ini dikenal membuat cangkang mereka satu lapis pada suatu waktu.

Baca Juga: Profesor Inggris Sebut Virus Corona Dibawa Meteor ke Bumi, Lho Kok?

"Sedikit sebanding dengan cincin pohon," kata Niels de Winter, seorang ahli  paleoklimatologi di Vrije Universiteit Brussel, Brussels, Belgia, yang juga penulis utama makalah dalam jurnal Paleoceanography dan Paleoclimatology, dilansir di Cosmos Magazine, Selasa (17/3/2020).

Cincin pohon adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengukur usia pohon. Dengan menggunakan laser, de Winter mengatakan, timnya mampu menembak lubang kecil dalam fosil. Mereka lalu memeriksa komposisinya pada skala mikron. Hal itu disebut tidak mungkin dilakukan peneliti manusia dengan mikroskop.

Penelitian itu memungkinkan mereka untuk mengupas kembali lapisan cangkang dalam skala kecil, sekitar seperempat dari pertumbuhan normalnya pada satu hari. Cara ini memperpanjang pertumbuhan itu selama sembilan tahun dari kehidupan kerang.

"Ini memungkinan kita untuk mengukur bagaimana komposisi kerang berubah selama periode waktu yang singkat dan belajar tentang perubahan yang sangat cepat di lingkungan cangkang itu. Dari itu kita bisa menghitung jumlah hari dalam satu tahun, karena kita juga bisa melihat siklus musiman," kata de Winter.

Dari penelitian itu, mereka menemukan bahwa 70 juta tahun lalu, ada 372 hari dalam setahun. Bukan 365 dan seperempat hari seperti saat ini. Dengan demikian, ada perbedaan 23 menit per hari.

Temuan ini tidak hanya membantu menjelaskan kondisi iklim purba. Tetapi juga evolusi astronomi dari Bulan, yang pergerakannya secara perlahan menjauhi Bumi. De Winter mengatakan, hasil penelitian itu mendukung pemahaman para astronom tentang bagaimana sistem Bumi-Bulan berevolusi. 

Hari di Bumi secara perlahan memanjang ketika Bulan berangsur-angsur menjauh dari Bumi. Saat ini, menurutnya, Badan Antariksa AS (NASA) telah mengukur tingkat di mana Bulan menyusut 3,8 sentimeter per tahun. Namun demikian, ia mengatakan itu tidak selalu terjadi.

"Evolusi jarak Bumi-Bulan pasti lebih kompleks. Tetapi kita tidak tahu persis bagaimana caranya. Jenis pengukuran ini membantu para astronom membuat model yang lebih baik tentang bagaimana sistem Bumi-Bulan berperilaku sejak saat pembentukan Bulan," ujar de Winter.

Dari penelitian ini, ia mengungkapkan bahwa mereka dapat mempelajari perubahan dalam lingkungan pada skala yang sangat tinggi. Dengan kata lain, penelitian bisa digunakan mungkin tidak hanya melihat iklim kuno, tetapi juga perubahan cuaca sehari-hari.

Namun demikian, saat ini penelitian baru dilakukan untuk satu kerang. De Winter mengatakan, sulit untuk menemukan fosil yang terpelihara dengan baik seperti spesimen yang mereka gunakan tersebut.

Di samping itu, pekerjaan ini membutuhkan waktu dan upaya yang banyak. Kendati begitu, ia mengatakan itu tidak berarti penelitian serupa tidak akan segera dilakukan. Melalui penelitian serupa, mereka bisa merekonstruksi tingkat detail cuaca jauh di masa lalu, terutama di era hangat seperti di masa kerang hidup.

"Kami para ilmuwan iklim sangat tertarik dengan rekonstruksi seperti itu, karena mereka dapat mengajari kami bagaimana pola dalam cuaca ekstrem dan iklim akan berevolusi dalam waktu dekat," kata dia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: