Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

5 Negara yang Gagal Terapkan Lockdown

5 Negara yang Gagal Terapkan Lockdown Kredit Foto: Reuters/Anushree Fadnavis
Warta Ekonomi, Bogor -

Indonesia memutuskan untuk tidak menerapkan kebijakan karantina (lockdown) wilayah ataupun nasional dan memilih pembatasan sosial skala besar.

Salah satu alasannya: karena banyak negara yang gagal dalam menerapkan kebijakan itu--menurut pernyataan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo.

"Sehingga, ada penumpukan (penduduk) begitu besar. Bayangkan jika ada satu di antara mereka yang terpapar, betapa banyaknya warga negatif yang bisa jadi positif (terpapar COVID-19)," katanya di Jakarta, kemarin (30/3/2020).

Baca Juga: 4 Penyebab Lockdown di India Gagal

Pertanyaannya, negara mana sajakah yang kebijakan lockdown-nya dinilai gagal? Menghimpun sejumlah informasi dari berbagai sumber, inilah daftar negara yang dianggap gagal dalam menerapkan kebijakan tersebut:

1. Italia

Sejauh ini, Italia merupakan negara yang memiliki jumlah kematian paling tinggi akibat corona, jika dibandingkan dengan negara yang paling banyak mencatatkan kasus infeksi seperti Amerika Serikat, Spanyol, China, dan Prancis.

Sampai Selasa (31/3/2020), Italia sudah mencatat 101.739 kasus infeksi corona dengan total kematian 11.591. Artinya, tingkat kematian negara itu hampir menyentuh angka 11,4%, jauh melampaui tingkat kematian corona global yang berada di angka 4,8%.

Melansir CNBC Internasional, keadaan di sana belum membaik, padahal sejak awal Maret, Italia sudah menerapkan kebijakan karantina nasional. "Kami sedang berada di titik tertinggi wabah," kata Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte.

Sudah begitu, Italia memprediksi akan ada lonjakan kasus di bagian Selatan dalam beberapa hari ke depan. Apalagi, wilayah itu kurang berkembang dan dinilai kurang siap untuk merespons wabah.

Langkah keliru yang diambil adalah karantina wilayah pada tahap awal virus corona diidentifikasi di Utara Italia, tepatnya Lombardy dan 14 provinsi sekitarnya. Masalahnya, rencana karantina tersebut bocor lebih dulu ke telinga masyarakat sehingga melahirkan eksodus besar-besaran ke wilayah Selatan.

Profesor Virologi Universitas Vita-Salute San Raffaele, Roberto Burioni berujar, "sayangnya, sejumlah penduduk yang terlibat dalam eksodus itu berisiko tertular (corona)."

2. Amerika Serikat

Amerika Serikat menerapkan kebijakan karantina wilayah parsial di 30 negara bagian, antara lain: Alaska, California, Colorado, Connecticur, Delaware, Hawaii, Idaho, Illinois, Indiana, Kansas, Kentucky, Louisiana, New York, Mexico, New Jersey, hingga Washington.

Bahkan, pekan lalu, Trump dan jajarannya memerintahkan orang-orang yang sebelumnya datang ke New York--sebelum karantina diberlakukan--melakukan swakarantina di rumah masing-masing. Sebab, New York menyumbang 60% dari seluruh kasus baru Amerika Serikat, menurut Koordinator Gugus Tugas Corona AS, Deborah Birx, dilansir dari Washington Post.

Upaya karantina itu bertujuan menekan laju penyebaran virus corona di Negeri Paman Sam. Meski sudah mengambil langkah yang membuat ekonomi goyah, AS masih memegang gelar 'negara dengan kasus infeksi corona terbanyak' sampai hari ini.

Di AS, telah tercatat 164.266 kasus infeksi corona, dengan jumlah kematian 3.170 dan pasien sembuh 5.507 per Selasa (31/3/2020).

3. Prancis dan Spanyol

Kebijakan karantina di seluruh Eropa tak begitu berdampak pada jumlah kasus di Prancis dan Spanyol, dua negara yang mengalami lonjakan kasus secara signifikan setelah Italia.

Bahkan, dari segi total kematian akibat corona, Spanyol menduduki peringkat kedua setelah Italia. Yang parah di Spanyol, lebih dari 14% kasus infeksi menyerang tenaga kesehatan.

Prancis, walau kasus kematiannya berada di bawah China dan AS, jumlah kasus teridentifikasi di negara itu masih jauh di bawah China-AS. Pekan lalu, negara itu bahkan mencatatkan kenaikan kasus kematian hingga 28%.

4. India

India jadi salah satu negara berkembang yang mengimplementasikan kebijakan karantina wilayah selama 21 hari sejak Selasa (24/3/2020). Sayangnya, upaya penekanan penyebaran virus corona itu malah berujung tragis.

Alur rantai pasokan berantakan, para pekerja informal kehilangan pekerjaan, tunawisma kelaparan. Bahkan, penduduk yang mengandalkan upah harian di Delhi dan Mumbai masih harus keluar rumah sehingga terpaksa berjalan dari kota ke desa karena tak punya makanan dan uang lagi.

Pada akhirnya, Sekretaris Kabinet, Rajiv Gauba menyampaikan, tak ada rencana perpanjangan kebijakan lockdown di India, dilansir dari Channel News Asia.

Sebelumnya, pengamat yang memprediksi penyebaran virus sudah mengatakan, negara dengan kondisi seperti India perlu menunjang kebutuhan hidup penduduk kelas bawah jika ingin upaya lockdown berhasil.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Tanayastri Dini Isna

Bagikan Artikel: