Trump Sesumbar Mau Umumkan Asal-Usul Virus Corona karena...
"Profesor lockdown" mundur
Di Inggris, pakar epidemiologi Neil Ferguson yang dijuluki "profesor lockdown" telah mengundurkan diri dari perannya sebagai penasehat pemerintah untuk penanganan COVID-19.
Suratkabar setempat melaporkan bahwa Prof Ferguson yang menyarankan pemerintah untuk melakukan lockdown, justru melanggar aturan itu ketika menerima kunjungan seorang wanita dalam dua kesempatan.
Aturan yang berlaku melarang warga Inggris keluar rumah kecuali untuk berbelanja makanan, berolahraga, kebutuhan medis, atau jika mereka tidak dapat bekerja dari rumah.
Prof Ferguson, yang bekerja di Imperial College di London mengatakan mundur dari posisi penasehat yang berperan penting dalam merumuskan kebijakan pemerintah terkait COVID-19.
Pemodelan yang dilakukan tim Prof Ferguson dipandang sebagai titik balik dalam respons Pemerintah Inggris terhadap pandemi ini.
Pemodean itu memproyesikan skenario terburuk di Inggris dengan kematian hingga 500.000 orang. Inilah yang mendorong pemerintah segera berlakuan aturan lockdown.
"Tindakan saya didasari atas keyakinan bahwa saya imun setelah dites positif corona dan telah menjalani isolasi hampir dua minggu setelah mengalami gejala," katanya.
"Saya sangat menyesalkan jika pesan yang jelas soal perlunya menjaga jarak untuk mengendalikan epidemi ini jadi terganggu," katanya.
Jumlah korban meninggal di Inggris saat ini sebanyak 32.313 orang, sekitar setengah dari jumlah korban di AS sebanyak 70.646 orang.
Selamati keberhasilan Australia
Ratu Elizabeth II dari Inggris menelepon Perdana Menteri Scott Morrison untuk menyampaikan selamat atas keberhasilan Australia mencegah dampak mengerikan dari COVID-19.
PM Morrison mengungkapkan mereka membahas upaya pemulihan dampak kebakaran hutan serta kemarau di Australia.
"Yang Mulia juga senang mendengar bahwa pacuan kuda masih berlangsung di Australia," katanya.
Salah satu bentuk stimulus yang diluncurkan pemerintah yaitu program bernama JobKeeper, yang sejauh sudah diikuti 728.000 perusahaan yang mencakup 4,7 juta pekerja.
Pemerintah menyiapkan dana sebesar 130 miliar dolar untuk program ini, di mana setiap pekerja yang terdampak COVID-19 akan mendapatkan pembayaran dari pemerintah.
Namun program yang diperkirakan akan diikuti sekitar 6 juta pekerja ini tidak akan diperluas ke mereka yang berstatus pekerja lepas.
Pihak oposisi telah mendesak pemerintah untuk memasukkan para pekerja lepas yang telah berganti pekerjaan dalam 12 bulan terakhir.
Menurut hitungan kantor berita Reuters, kasus virus corona di negara-negara Asia telah mencapai seperempat juta pada hari Selasa (5/5/2020), terutama didorong adanya pertambahan kasus di Singapura, Pakistan dan India, di saat China, Korea Selatan dan Jepang mulai memperlambat penyebaran penyakit ini.
Diperlukan hampir empat bulan untuk mencapai jumlah infeksi 250.000 orang di Asia, sementara untuk jumlah yang sama di Spanyol dicapai dalam dua bulan.
Secara global, Asia hanya menyumbang 7 persen dari total kasus, Eropa 40 persen, dan wilayah Amerika Utara 34 persen.
Namun banyak kalangan meniai bahwa banyak negara Asia yang menutup-nutupi angka sebenarnya dari pandemi ini.
Infeksi virus corona menyebabkan gejala ringan sehingga tidak semua orang dites. Di sisi lain, sebagian besar negara di Asia hanya mencatat kematian di rumah sakit, yang berarti kematian di rumah dan panti-panti jompo tidak dihitung.
Sementara itu di Brasil, dilaporkan 6.935 kasus baru dan 600 kematian dalam sehari.
Negara ini mencatat 114.715 kasus positif dengan 7.921 kematian, menjadikannya negara yang paling terdampak di wilayah Amerika Latin.
Sao Luis yang berpenduduk sekitar satu juta kini menjadi kota besar pertama di Brasil yang akhirnya memberlakukan lockdown.
Aturan ini diterapkan meskipun Presiden Jair Bolsonaro tetap bersikeras bahwa seharusnya hanya orang tua dan yang berisiko tinggi yang boleh tinggal di rumah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto