Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kagetkan Banyak Pihak, Fahira Idris: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan di Tengah Pandemi Kurang Tepat

Kagetkan Banyak Pihak, Fahira Idris: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan di Tengah Pandemi Kurang Tepat Kredit Foto: Antara/Risky Andrianto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan pemerintah yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Kelas I dan II yang mulai berlaku 1 Juli 2020 dan Kelas III yang baru akan naik tahun 2021 mengangetkan banyak pihak. Pasalnya, pada Februari 2020, Mahkamah Agung (MA) sudah membatalkan Perpres Nomor 75/2019 yang mengatur soal kenaikan BPJS Kesehatan karena dinilai bertentangan dengan undang-undang.

Kebijakan kenaikan ini juga mendapat sorotan karena ditetapkan saat pandemi Covid-19 yang cukup menggangu roda ekonomi warga, termasuk kelas menengah yang diasumsikan sebagai peserta Kelas I dan II. Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, dampak pandemi corona ini tentunya menganggu kondisi ekonomi semua warga masyarakat termasuk mereka yang diasumsikan sebagai kelas menengah.

Baca Juga: Iuran BPJS Naik, PKB: Ayo Presiden, Jangan Main-Main Hati Rakyat!

Selain karena sebelumnya MA sudah sempat membatalkan kenaikan, terang Fahira, kebijakan menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan memometumnya kurang tepat untuk saat ini. Pelambatan ekonomi akibat corona ditambah kenaikan iuran BPJS Kesehatan dikhawatirkan akan makin menambah beban masyarakat.

"Memang kelas III baru akan naik 2021, tetapi tetap saja momentum menaikkan iuran untuk kelas I dan II, hemat saya, kurang tepat untuk saat ini. Tidak bisa dimungkiri semua golongan masyarakat merasakan dampak ekonomi akibat pandemi ini. Makanya, kebijakan kenaikan ini dikhawatirkan membuat banyak yang mengalami kendala untuk membayar," tukas Fahira Idris dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (14/5/2020).

Menurut Fahira, selama wabah masih terjadi dan PSBB masih diterapkan, idealnya berbagai lapisan masyarakat diberi berbagai kelonggaran untuk mengurangi beban ekonomi kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah dengan tidak menaikkan atau menunda kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kelonggaran ini agar ritme atau pergerakan ekonomi masih terus dapat berputar walau tidak normal seperti biasanya.

Memang, defisit yang terus-menerus terjadi bisa menganggu keberlangsungan BPJS Kesehatan dan terus membebani APBN. Oleh karena itu, lanjut Fahira, upaya pemerintah menekan defisit BPJS Kesehatan harus didukung. Namun, pemerintah bersama BPJS Kesehatan masih memiliki pilihan, antara lain terus memaksimalkan kepatuhan pembayaran iuran hingga sempurna (mendekati 100 persen) dan terus meningkatkan transparansi dan efisiensi pengelolaan anggaran BPJS Kesehatan sehingga defisit bisa dipangkas maksimal agar sisa defisit tidak terlalu membebani APBN.

"Yang menjadi kekhawatiran kita semua adalah kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang terjadi di masa sulit ini adalah akan terjadi tunggakan yang masif, khususnya dari golongan mandiri. Jika ini terjadi, justru malah akan menganggu finansial dan keberlanjutan BPJS Kesehatan secara keseluruhan," ujar Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI ini.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sendiri tertuang dalam keputusan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Berikut besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Pasal 34: iuran Kelas I sebesar Rp150 ribu per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP atau pihak lain atas nama peserta; iuran Kelas II sebesar Rp100 ribu per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP atau pihak lain atas nama peserta; iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp25.500, tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp35 ribu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: