Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

CIPS: Pemerintah Harus Perhatikan 2 Hal untuk Tingkatkan Ekonomi Digital

CIPS: Pemerintah Harus Perhatikan 2 Hal untuk Tingkatkan Ekonomi Digital Kredit Foto: GreatDay HR
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan kelancaran lalu lintas teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memungkinkan perubahan kegiatan masyarakat, baik dalam jual-beli, pembayaran, pemasaran, dan alat untuk kegiatan produktif lainnya.

Perluasan akses TIK dan perlindungan konsumen menjadi dua hal yang patut diimplementasikan beriringan untuk mendukung transaksi ekonomi digital.

Sementara itu, jumlah penggunaan internet terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data BPS, Indonesia mengalami kenaikan pengguna internet secara signifikan dari 10,92% populasi pada 2010 menjadi 43,52% populasi pada 2019.

Baca Juga: RUU PDP & RUU Siber Belum Disahkan, Konsumen E-Commerce hingga Fintech Rugi Bandar

Namun, data yang sama juga menunjukkan bahwa ketimpangan digital di Indonesia banyak terjadi pada bottom of the pyramid (BOP), seperti masyarakat miskin, perempuan, lansia, dan penduduk dengan letak geografis Timur Indonesia.

"Pemerintah perlu memperhatikan proporsi mereka yang tergolong sulit mendapatkan akses internet, baik itu latar belakang ekonominya hingga sebaran daerah yang rendah konektivitas internetnya. Akses internet dapat mendukung inklusi digital yang berdampak pada peningkatan potensi ekonomi," ujar Ira dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/5/2020).

Pernyataan ini diperkuat dengan data BPS yang menunjukkan kelas masyarakat berpendapatan rendah mempunyai proporsi terendah dari penetrasi internet dibandingkan masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi. Hanya 28,30% masyarakat berpendapatan rendah mempunyai akses pada internet. Sedangkan penetrasi internet tercatat 69,12% pada masyarakat berpendapatan tinggi.

"Asian Development Bank (ADB) memperkirakan efek kumulatif dari akselerasi inklusi keuangan yang didorong secara digital dapat mendorong pertumbuhan PDB sebesar 2%- 3%, yang dapat diwujudkan menjadi peningkatan pendapatan sebesar 10% pada masyarakat prasejahtera dengan pendapatan kurang dari US$2 per hari," tandas Ira.

"Selain perluasan akses internet, perlindungan konsumen dan data transaksi juga perlu diperkuat. Revisi UU Perlindungan Konsumen dan legislasi Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi harus memastikan konsumen mendapatkan perlindungan yang konsisten untuk transaksi, baik secara langsung maupun online," lanjutnya.

Pada e-commerce, pihak ketiga sebagai penghubung memainkan peran penting dalam menengahi sengketa dan memfasilitasi ganti rugi antara pelaku usaha dan konsumen dari transaksi langsung. Karena UU Perlindungan Konsumen (PK) tidak mengakui peran pihak ketiga, maka penting untuk memasukkan peran mereka ke dalam revisi yang akan dilakukan.

Baca Juga: Ya Ampun! Ijazah Ilegal UI Juga Dijual di Tokopedia

Selain mengakui pihak ketiga, revisi UU ini juga perlu mengevaluasi penjualan kembali (reselling) secara online, penggunaan internet secara umum, aturan pengumpulan data, ketentuan yang adil untuk kontrak digital, transaksi konsumen dengan konsumen, transaksi lintas negara, dan transaksi produk digital seperti perangkat lunak dan media.

"Revisi UU PK harus diselesaikan secepat mungkin agar menjawab pertumbuhan ekonomi digital yang telah melampaui kemampuan kapasitas pemerintah dan desakan masalah yang muncul dari adanya celah hukum dan non-hukum. Panduan internasional dan regional serta praktik terbaik, dari Asean dan rekan global lainnya, harus dipertimbangkan saat berkonsultasi dan saat proses perancangan," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bernadinus Adi Pramudita
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: