Pada tanggal 29 Mei 2020 lalu, Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang akan berlaku mulai 1 Juni 2020 ini.
Dalam PMK tersebut, pemerintah menaikkan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya serta memberikan penegasan terkait pengenaan tarif kepada barang ekspor berupa produk campuran yang berasal dari CPO atau produk turunannya. Kenaikan tarif ekspor atas 24 komoditas yang berasal dari kelapa sawit, CPO, maupun produk turunannya masing-masing sebesar US$5/ton. Misalnya CPO, jika merujuk pada PMK 136/2019, tarif ekspor yang berlaku dari 1 Januari-31 Mei 2020 yang semula US$50/ton menjadi US$55/ton.
Baca Juga: Era New Normal, Industri Kelapa Sawit Indonesia Makin Potensial!
Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terus berupaya mewujudkan komitmen terhadap sawit berkelanjutan dengan memberikan tambahan dana sebesar Rp2,78 triliun bagi pengembangan di sektor hulu yang mencakup peremajaan, sarana, dan prasarana, serta pembinaan sumber daya manusia di sektor sawit.
Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung, menyatakan bahwa realisasi dana sarana dan prasarana ini sangat dinantikan petani sawit yang tersebar di 117 DPD Apkasindo kab/kota dan 22 DPW provinsi seluruh Indonesia untuk membantu petani dengan kepemilikan lahan mencapai 41 persen (6,72 juta ha) dari segi produktivitas lahan melalui PSR, sarana dan prasarana, peningkatan SDM serta riset dalam rangka mendukung nilai tambah industri sawit bagi negara.
Dana tersebut bersumber dari pungutan ekspor CPO dan produk turunannya yang diperuntukkan bagi sektor perkelapasawitan Indonesia. Dalam perhitungan asosiasi, pungutan ekspor akan berdampak pada pengurangan harga TBS sawit antara Rp90–Rp110/kg untuk setiap pungutan US$50/ton CPO. Gulat menegaskan tidak sependapat dengan opini sejumlah pihak yang menyatakan bahwa pungutan ekspor dapat membebani dan membuat petani menderita.
"Dengan ini saya sampaikan bahwa petani sawit justru mensyukuri manfaat dana pungutan ekspor. Kalau ada yang berseberangan pendapat dengan kami, mungkin bersumber dari orang yang bukan petani sawit sehingga tidak merasakan manfaatnya," tegas Gulat.
Lebih lanjut Gulat menegaskan, "Sawit adalah juara penyumbang devisa negara sepanjang lima tahun terakhir. Jadi, wajar saja banyak oknum yang melihat sawit ini seksi untuk diobok-obok, apalagi dengan melihat bahwa 41 persen sawit Indonesia dikelola oleh petani. Maka, makin seksilah barang itu."
Di wilayah terpencil, kelapa sawit merupakan bidang usaha yang banyak melibatkan masyarakat (petani). Diperkirakan terdapat 20 juta orang petani dan buruh tani di dalamnya. Angka ini belum dihitung dari ring 2 dan 3 yang berada dalam rantai sektor industri yang terkait industri perkebunan kelapa sawit ini.
"Melalui dana BPDPKS, petani sawit sudah masuk ke sawit generasi kedua. Di generasi kedua, kami bertekad menjadi petani yang smart dan berkelas. Bantu kami kami hijrah (move on) sehingga menjadi lebih baik dan lebih berguna untuk bangsa dan negara ini," ujarnya.
Tidak hanya itu, dalam tiga tahun terakhir, terdapat sebanyak 1.200 Taruna Program D1 Sawit yang sudah menamatkan pendidikannya di 5 Perguruan Tinggi terbaik bidang sawit yang ada di Indonesia. Pada 2020 ini, jumlah perguruan tinggi sawit tersebut bertambah menjadi 6 kampus. Taruna ini merupakan anak-anak petani dan buruh tani yang dibiayai full untuk kuliah melalui beasiswa BPDPKS.
Gulat mengatakan, berdasarkan data Apkasindo, 89 persen alumni beasiswa BPDPKS ini bekerja di perkebunan sawit dan sebagian diberdayakan untuk program PSR dan ke depannya akan menjadi suluh dana sarpras. Mereka ini merupakan generasi milenial petani sawit yang menjadi aset bagi Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia.
Coba bayangkan, apa jadinya Indonesia tanpa kelapa sawit? Ditambah lagi, di saat pandemi seperti ini?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum