Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

PKB Bela Petani terkait Konflik Agraria di PTPN II Deli Serdang

PKB Bela Petani terkait Konflik Agraria di PTPN II Deli Serdang Kredit Foto: FH
Warta Ekonomi, Jakarta -

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR menerima pengaduan dari petani asal Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut). Para petani meminta penyelesaian konflik agraria di lahan PTPN II Deli Serdang. Lahan tersebut selama ini dikelola dengan Hak Guna Usaha (HGU).

Dari hasil dialog yang berlangsung di kompleks Parlemen DPR pada Selasa (14/7) itu, Ketua Fraksi PKB DPR Cucun Ahmad Sjamsurijal mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mencabut izin perpanjangan HGU Nomor 171/2009 lahan seluas 854 hektare (ha) yang diberikan kepada PTPN II Deli Serdang. HGU tersebut dinilai menjadi sumber konflik agraria yang banyak merugikan warga setempat.

"HGU Nomor 171/2009 banyak merugikan para petani di Kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara,” ujar Cucun Ahmad Sjamsurijal saat menerima perwakilan ratusan petani Simalingkar dan Sei Mencirim, Deli Serdang. Sebelumnya para petani itu melakukan aksi jalan kaki dari Medan ke Istana Negara.

Baca Juga: PLN Gandeng Kementerian Agraria Sertifikasi Aset Tahun Ini

Cucun menjelaskan penerbitan HGU 171/2009 telah banyak diprotes para petani karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seharusnya HGU diterbitkan jika status lahan tidak dalam sengketa. Kenyataannya, di atas lahan yang hak guna usahanya diberikan kepada PTPN II oleh Kementerian ATR berdiri rumah tapak dan lahan pertanian yang dikelola masyarakat.

"Lebih baik HGU tersebut dicabut terlebih dahulu lalu diterbitkan kembali HGU baru yang mengakomodasi kepentingan masyarakat petani di sana,” ujarnya.

Cucun mengatakan, Kementerian ATR maupun PTPN II tidak bisa mengabaikan fakta jika para petani telah menempati lahan di Kecamatan Pancur Batu tersebut sejak puluhan tahun silam. Mereka telah berdomisili dan mencari nafkah di lahan bekas perkebunan tembakau yang dikelola Belanda di masa penjajahan tersebut. Bahkan, dari berbagai dokumen yang ada para petani tersebut mendapatkan SK Landereform tahun 1984 untuk menempati dan mengelola lahan tersebut.

“Fakta-fakta ini tidak bisa ditutupi dan diabaikan dengan intimidasi maupun pengusuran paksa oleh PTPN maupun aparat terkait,” tukasnya.

Ironisnya, lanjut Cucun, HGU Nomor 171/2009 yang masih bermasalah tersebut di tahun 2019 diubah oleh Kementerian ATR menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 1938 dan 1939 untuk PTPN II.

Rencananya, di atas lahan yang berdiri rumah tapak dan lahan pertanian warga Simalingkar akan didirikan kawasan perumahan komersial.

“Ini kan sangat menyakitkan. HGU masih bermasalah dan belum selesai ternyata diterbitkan HGB untuk perumahan komersil di atas lahan yang menjadi sumber konflik,” katanya.

Kasus konflik agraria di Desa Sei Mencirim, lanjut Cucun, lebih menyedihkan lagi. Di Kawasan ini para petani yang telah memegang sertifikat lahannya diambil begitu saja oleh PTPN II. Mereka dengan dikawal ribuan aparat keamanan membuldozer lahan pertanian dan rumah tapak para petani. Hal itu dilakukan di tengah masa pandemi Covid-19 pada 11 Maret 2020.

“Maksud saya kenapa kita tidak mengedepankan sisi kemanusiaan di masa pandemic ini. Kalau toh mereka merasa berhak apa tidak ada acara-cara persuasif yang bisa diterima semua pihak untuk penyelesaiannya,” katanya.

Anggota Komisi III itu menegaskan, jika lahan yang menjadi sumber konflik PTPN dengan petani Simalingkar dan Sei Mencirim tidak lebih dari 700 hektare. Luasan lahan itu tergolong sangat kecil dibandingkan dengan luas lahan yang dikelola oleh PTPN II. Luasan lahan yang dituntut petani kecil ini sangat tidak berarti dibandingkan dengan hak Kelola yang dinikmati banyak korporasi besar di negeri ini.

“Artinya kalau mau duduk bareng PTPN II dan petani saya rasa perselisihan ini akan bisa berakhir dengan win-win solution,” tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: