Kasus dugaan tindak pidana perbankan berupa lelang aset milik debitur wanprestasi yang menimpa Bank Swadesi terus mendapat sorotan dari banyak pihak. Terbaru, kalangan pakar humum menilai bahwa kasus tersebut merupakan bentuk pelanggaran Standard Operational Procedure (SOP) perbankan, dan karenanya masuk dalam pelanggaran administrasi sehingga tidak bisa dipidanakan.
Kecuali bila penyidik dapat membuktikan adanya unsur kesengajaan, penyalahgunaan wewenang atau benturan kepentingan yang dilakukan direksi, dewan komisaris, maupun karyawan bank bersangkutan, baru pendekatan pidana dapat dilakukan.
Pakar Hukum Perbankan, DR Yunus Husein, misalnya, menyebut bahwa hingga saat ini belum ada temuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa ada Undang-undang Perbankan dan peraturan perundang-undangan lain yang telah dilanggar oleh Bank Swadesi. Hal ini terbukti dengan tidak adanya surat pembinaan (supervisory action) atau sanksi administratif yang dikenakan OJK terhadap Bank Swadesi.
"Maka logika sederhananya, jika tidak ada langkah-langkah yang diperintahkan oleh pengawas (OJK), maka artinya tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh bank (Swadesi)," ujar Yunus, Rabu (16/7/2020).
Yunus yang juga merupakan mantan kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini pekan lalu dihadirkan oleh penyidik sebagai saksi ahli dalam gelar perkara kasus tersebut di Bareskrim. Dalam kesaksiannya, Yunus mengungkapkan fakta bahwa tidak adanya tindakan pengawasan yang dikenakan kepada bank memiliki konsekuensi berupa tidak adanya pengetahuan dan kehendak para tersangka untuk melakukan tindak pidana yang disangkakan.
"Dengan demikian Dalam konteks kasus ini pelanggaran SOP bukanlah perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b," tutur Yunus.
Senada dengan Yunus, Pakar Hukum Tata Negara Prof. Refli Harun, juga mengungkapkan pandangan serupa. Menurut Refli, yang dimaksud peraturan perundangan lainpada pasal 49 ayat (2) huruf b adalah seluruh peraturan yang dibuat oleh negara maupun perusahaan yang mengikat secara hukum.
Namun Refli mengingatkan jika terjadi pelanggaran terhadap suatu peraturan, dalam hal ini melanggar SOP bank, maka harus dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum berupa penyalahgunaan wewenang dan jabatan atau benturan kepentingan yang melatarbelakngi pelanggaran tersebut.
Jika ternyata tidak ditemukan bukti-bukti dimaksud maka pelanggaran SOP masuk dalam kategori pelanggaran administrasi yang sanksinya tidak dapat digiring atau dipaksakan ke ranah pidana. Harus dapat dibuktikan dulu unsur penyalahgunaan wewenang maupun benturan kepentingan, baru kemudian bisa dipidana.
"Sebaliknya, jika hanya kesalahan administrasi saja, maka sanksinya pun administrasi," ujar refli.
Pandangan Yunus dan Refli juga didukung oleh Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis. Menurut Margarito SOP bukanlah peraturan lain sebagaimana dimaksud di dlaam pasal 49 ayat (2) huruf b sejauh SOP tersebut belum dituangkan dalam peraturan perbankan dan diundangkan dalam lembaran negara. SOP internal bank dalam penilaian Margarito tidak bisa dijadikan landasan untuk mempidanakan seseorang.
"Tidak bisa. SOP tidak bisa jadi landasan untuk menghukum atau mempidanakan orang. Tidak bisa," ujar Margarito.
Sebagaimana diketahui, kasus ini sendiri bermula pada bulan Maret dan Juni 2008 dimana Debitur Ratu Kharismamendapatkan fasilitas kredit dari Bank Swadesi sejumlah Rp. 10.500.000.000 dengan agunan berupa tanah seluas 1.520 meter persegi (M2) di daerah Seminyak, Bali.
Baru membayar angsuran dan bunga sejumlah ± Rp. 300.000.000, debitur kemudian lalai atas kewajibannya dan tercatat sejak bulan Juni 2009 tidak lagi membayar bunga dan angsuran. Setelah diberitahukan, peringatan dan pemutusan kredit oleh Bank dantidak juga melaksanakan kewajibannya maka berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Peraturan Menteri Keuangan No. 40 tahun 2006 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 93 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Lelang dan pencatatan objek agunan melibatkan Kantor Pertanahan (BPN), Bank mengajukan lelang umum di KPKNL Denpasar.
Hasilnya, aset tersebut laku dilelang dengan nilai Rp 6.386.000.000 setelah melalui lima kali proses lelang. Namun pihak Rita tidak puas dengan hasil lelang tersebut karena nilai lelang jauh di bawah nilai pasar. Setelah melalui proses panjang, akhirnya pihak Rita melaporkan komisaris, direksi, dan karyawan Bank Swadesi ke Polda Bali atas dugaan melakukan tindak pindana perbankan (tipibank) yang saat ini ditangani Bareskrim Polri.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma
Tag Terkait: