Ironi Program Nuklir Iran: Diciptakan dan Juga Diributkan AS
Program nuklir Iran terus disorot oleh negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, dan Prancis. PBB dan IAEA juga memberikan perhatian khusus setelah pihak-pihak penandatangan perjanjian kerja sama program nuklir Iran terlibat konflik lagi.
Kolomnis dan host NPR.org, sebuah media terkemuka di AS, Steve Inskeep, menulis tentang asal usul program nuklir Iran yang dibangun sejak sebelum Revolusi Islam berkuasa.
Baca Juga: Laporan Bilang Rudal-Rudal Iran Mampu Menjangkau Arab Saudi
Akar program nuklir Iran berasal dari Amerika Serikat. Presiden AS saat itu (1953) Dwight D Eisenhower membuat program Atom untuk Perdamaian yang menyasar Iran untuk menjalankannnya.
"Program nuklir Iran memiliki akar yang dalam," kata Ali Vaez, analis senior International Crisis Group untuk Iran.
Vaez dibesarkan di Iran, yang berarti program nuklir adalah kisah pribadi baginya. "Program nuklir Iran dimulai pada tahun 1957," katanya.
"Dan ironisnya, nuklir Iran adalah ciptaan Amerika Serikat. AS memberi Iran reaktor riset pertama, sebuah reaktor nuklir 5 megawatt yang masih berfungsi dan masih beroperasi di Teheran."
AS membangun reaktor nuklir itu pada tahun 1967 di kampus Universitas Teheran. Ada bahan bakar di reaktor itu berupa uranium yang diperkaya untuk senjata.
Itu adalah bagian dari program Atoms for Peace dari Presiden Eisenhower --sebuah inisiatif untuk memberikan negara-negara dengan teknologi nuklir sipil yang damai dengan harapan mereka tidak akan mengejar program nuklir untuk militer.
Penerima manfaat program ini termasuk Israel, India, Pakistan, dengan dukungan Iran yang saat itu dipimpin Shah Reza Pahlavi.
Di bawah program itu, banyak negara menerima apa yang diterima Iran: reaktor kecil mereka sendiri, bahan bakar sendiri. Tetapi, kata Vaez, "sebagai akibat dari booming minyak tahun 1970-an, program nuklir [Iran] berubah menjadi program nuklir sipil penuh."
Iran punya uang untuk mengeksploitasi pengetahuan dan mengembangkan sains. Pemerintah Shah mengirim puluhan siswa Iran kuliah di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan belajar teknik nuklir pada pertengahan 1970-an.
"Mayoritas orang yang kembali ke negara itu dan mulai menjalankan program nuklir dilatih di MIT," kata Vaez.
Baca Juga: Kerja Sama Diteken, Benarkah Iran Jual Pulau ke China?
Ada momentum pada 1970-an ketika para pejabat AS berpikir mereka mungkin membuat kesalahan. Mereka khawatir Iran akan menjadi salah satu negara yang akan mengembangkan senjata nuklir.
Diplomat-diplomat AS mulai bernegosiasi untuk membatasi program nuklir Iran. Mereka menghadapi masalah bahwa Iran di bawah Syah bersikeras mereka memiliki hak sama untuk memgembangkan tenaga nuklir seperti negara mana pun.
"Shah sangat terkenal dengan mengatakan kecuali Iran tidak diperlakukan sebagai negara kelas dua, dia akan mencari vendor alternatif dan dia tidak akan bekerja dengan perusahaan AS untuk memperoleh teknologi nuklir Iran."
Iran membeli pembangkit nuklir dari Jerman Barat dan Prancis. Reaktor riset di Universitas Teheran terus bekerja.
Setelah Shah digulingkan pada 1979, di bawah pemerintahan Islam baru yang dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini, ribuan orang berkumpul di universitas setiap hari Jumat dan mengarahkan tikar doa mereka ke arah Makkah.
"Universitas Teheran berada di episentrum upacara doa usai Sholat Jumat," kata Vaez. "Dan [itu] juga terkenal sebagai episentrum nyanyian 'Kematian bagi Amerika' yang terdengar setiap hari Jumat selama doa."
Ulama yang berkuasa awalnya tidak merangkul infrastruktur nuklir negara yang ada, kata Vaez. Malah Imam Khomeini ingin menjadikan situs nuklir sebagai tempat penyimpanan gandum.
Khomeini melihat program nuklir Iran sebagai simbol pengaruh Barat dan tidak tertarik untuk mengejar itu, setidaknya pada awalnya. Sebaliknya, kampanye "Racun Barat" begitu kuat di Iran.
"Racun Barat" adalah istilah yang dibuat dan digunakan Iran untuk menunjukkan pengaruh Barat yang merusak yang harus ditolak.
"Ayatollah Khomeni mengatakan pembangkit listrik tenaga nuklir yang belum selesai di Bushehr harus digunakan sebagai silo untuk menyimpan gandum," kata Vaez.
Sikap ini bertahan hingga 1980-an. Tetapi pada saat itu, Iran sedang berperang melawan tetangganya Irak, yang dipimpin oleh Saddam Hussein. Sebagai bagian dari perang itu, Saddam berulang kali membom fasilitas nuklir Bushehr, yang tidak beroperasi pada saat itu.
Perang, yang berlangsung dari 1980 hingga 1988, juga menciptakan kekurangan listrik yang parah di Iran. Akhirnya, para pemimpin Iran memutuskan untuk menghidupkan kembali program nuklir, meskipun alasan pastinya tidak jelas.
Baca Juga: Kecanggihan Rudal Nuklir Korut Jadi Ancaman Negara-negara Kawasan
"Saya tumbuh di Iran pada saat itu, dan saya ingat sering terjadi pemadaman yang dialami setiap hari," kenang Vaez.
"Jadi tidak jelas 100 persen motivasi mana yang lebih penting bagi Iran untuk menghidupkan kembali program [nuklir]. Apakah program tersebut berfungsi sebagai pencegah terhadap serangan di masa depan atau apakah itu karena kebutuhan listrik negara yang mengerikan pada waktu itu?"
Ketika program nuklir Iran meningkat, Israel mulai memperingatkan dunia bahwa Iran telah membuat kemajuan teknologi nuklir yang berbahaya.
Dan kekhawatiran Amerika meningkat pada tahun-tahun setelah serangan 11 September 2001.
"Pesan kepada rakyat Iran adalah bahwa pemerintah Anda akan menyebabkan Anda dirampas," kata Presiden George W Bush dalam wawancara dengan NPR pada 2007.
"Jika pemerintah Anda terus mendesak senjata nuklir, akan ada yang hilang, kesempatan bagi rakyat Iran. Mereka tidak akan dapat mewujudkan potensi penuh mereka."
Iran telah secara konsisten menyangkal bahwa mereka menginginkan senjata, meskipun AS dan banyak lainnya berpendapat sebaliknya. Pada awal 2000-an, Iran menawarkan untuk membahas masa depan program nuklirnya.
Bahkan mencapai kesepakatan dengan kekuatan Eropa. Tetapi AS di bawah Bush tidak menandatangani.
Upaya untuk mencapai kesepakatan berantakan, dan Iran mulai membangun ribuan sentrifugal yang digunakan untuk memperkaya uranium.
Vaez mengatakan pada titik ini, arti program nuklir Iran adalah "bermutasi." Iran di bawah Khomeini telah menolak program tersebut sebagai simbol Barat yang korup. Tetapi sekarang, lebih dari satu dekade setelah kematiannya, Iran berubah pikiran.
"Ini benar-benar narasi baru," kata Vaez, "dan di sekitar narasi inilah muncul rasa nasionalisme yang baru."
Baca Juga: Bikin Geger, Kapal Selam Nuklir Rusia Malah Keliaran di Denmark
Presiden Iran yang baru memenangkan jabatan pada tahun 2005, Mahmoud Ahmadinejad, adalah seorang pemimpin populis yang mempertanyakan Holocaust dan menentang Presiden Bush.
Dalam sebuah wawancara dengan NPR pada 2008, ketika ditanya apakah pemerintahnya memiliki "proposal yang dapat dibuatnya akan meyakinkan dunia tentang uranium Iran, Ia mengatakan: "Tentu saja, kami memiliki proposal."
Seperti Shah pada dekade sebelumnya, Iran bersikeras memiliki hak untuk program nuklir. Ahmadinejad bertahan, bahkan ketika rakyatnya tumbuh gelisah dan perekonomian mengalami penurunan tajam.
Pada Juni 2009, Ahmadinejad terpilih kembali dengan hasil suara yang diributkan. Protes meletus di jalan-jalan Teheran dan di tempat lain. Demonstran ditangkap, disiksa dan bahkan dibunuh. Ketidakpuasan segera ditekan.
Ketika pemerintahan Presiden Obama mencoba untuk merundingkan kesepakatan nuklir akhir tahun itu, berantakan. AS dan kekuatan lainnya mengeluarkan sanksi.
Menjelang 2013, saat pemilihan akan tiba, kerusuhan kembali terjadi. Rakyat Iran memilih presiden baru, Hassan Rouhani, yang berjanji untuk meningkatkan hubungan dengan dunia.
Para ulama yang memiliki kekuatan tertinggi mengizinkannya. Sementara itu, para diplomat Iran sudah diam-diam bertemu dengan AS.
Diplomat Amerika William Burns, sekarang presiden Carnegie Endowment for International Peace, memimpin Amerika dalam pembicaraan rahasia itu. Dia merasa saat yang tepat bagi Iran untuk berkompromi.
"Kami telah membangun, pada awal 2013, cukup banyak tekanan ekonomi internasional terhadap Iran," katanya kepada NPR pada Juli. "Anda harus ingat bahwa ekspor minyaknya turun 50 persen. Ini nilai mata uangnya, juga turun 50 persen."
Kesepakatan kerja sama program nuklir Iran tercapai pada 2015, melibatkan AS, Inggris, Prancis, Jerman, PBB, dan Iran.
Namun pada 2018, Presiden Donald Trump menarik diri dari kesepakatan yang terus dicela Israel dan sejumlah negara Arab itu. Dan kini, eskalasi konflik nuklir Iran kembali tinggi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: