Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Misteri Kapal-kapal Hantu Korea Utara yang Belum Terpecahkan

Misteri Kapal-kapal Hantu Korea Utara yang Belum Terpecahkan Seorang pria mencoba mengintip ke dalam perahu kayu yang terdampar di pantai barat laut Jepang Miyazawa dengan delapan mayat di dalamnya. Tanda kuning bertuliskan "Bahaya" dan "Harap menjauh". | Kredit Foto: New York Times/Ko Sasaki
Warta Ekonomi, Hong Kong -

Selama bertahun-tahun, pantai utara Jepang telah menjadi lokasi fenomena mengerikan: perahu-perahu nelayan membawa mayat-mayat warga Korea Utara yang mati tersapu ke pantai, lebih dari 1.000 kilometer (600 mil) dari negara mereka.

Namun pada 2017, kapal yang merapat ke pantai Jepang jumlahnya lebih dari 100 kapal dengan 35 mayat di dalamnya. Sebab di tahun sebelumnya, hanya 66 kapal yang tersapu ke pinggir pantai.

Baca Juga: Ngawur! Kim Jong-un Minta Warganya Makan Penyu saat Korut Lagi...

Dikutip Warta Ekonomi dari CNN, Jumat (24/7/2020), tidak ada yang bisa menjelaskan mengapa "kapal hantu" sebanyak itu bisa mendarat di pesisir Jepang pada tahun tersebut. Seorang penjaga pantai Jepang mengatakan dengan sederhana karena faktor cuaca. Tetapi yang lain berspekulasi umur tua kapal-kapal penangkap ikan Korut yang harus disalahkan.

Kapal-kapal reyot ini hanyut di pantai secara massal, meskipun dengan sedikit mayat di dalamnya. Misteri ini sempat membingungkan otoritas setempat selama bertahun-tahun. Tetapi sebuah penelitian dari organisasi nirlaba internasional, Global Fishing Watch, yang diterbitkan pada Rabu (22/7/2020), memberikan sebuah teori baru yang meyakinkan. Laporan tersebut menyalahkan China dengan "armada perikanan gelap"-nya.

Penulis laporan menggunakan berbagai teknologi satelit untuk menganalisis lalu lintas laut di Asia timur laut pada 2017 dan 2018. Hasilnya, peneliti menemukan bahwa ratusan kapal penangkap ikan China berlayar di perairan Korea Utara.

Kapal-kapal China tampaknya memancing di sana secara ilegal, mendorong kapal-kapal Korea Utara yang tidak memiliki perlengkapan yang baik untuk melakukan perjalanan jarak jauh, lebih jauh dari pantai Korea Utara dan ke perairan Rusia dan Jepang.

200722233437-01-china-dark-fleet-fishing-exlarge-169.jpg

Memancing di perairan Korea Utara, atau membeli dan menjual ikan Korea Utara secara global, merupakan pelanggaran hukum internasional. Perdagangan ikan Pyongyang, yang diperkirakan bernilai 300 juta dolar AS per tahun atau sekira Rp4,38 triliun pada tahun 2017 dinilai sebagai sanksi oleh Dewan Keamanan PBB sebagai bagian dari upayanya untuk menghukum rezim Kim Jong Un atas tes rudal balistik berulang tahun itu.

Akan tetapi, menurut laporan Global Fishing Watch, itu tampaknya tidak menghalangi sekitar 900 kapal China pada tahun 2017 dan 700 pada tahun berikutnya.

Baca Juga: Proyek Mercusuar RS Korut Lamban, Kim Jong-un Marah-marah

Organisasi nirlaba itu mengatakan, pada 2017 dan 2018 kapal-kapal China ini kemungkinan menangkap lebih dari 160.000 metrik ton cumi terbang Pasifik, salah satu produk makanan laut paling berharga di kawasan itu --lebih banyak dari gabungan Korea Selatan dan Jepang selama periode yang sama. Tangkapan tersebut diperkirakan bernilai lebih dari 440 juta dolar AS.

Meskipun tidak jelas apakah Korea Utara dapat menghasilkan uang sebanyak itu dari hasil memancing di perairannya sendiri, kini tampaknya Pyongyang dapat menutup sebagian dari tangkapannya yang hilang dengan menjual hak penangkapan ikan kepada operator asing, kemungkinan kepada orang China.

Sebuah laporan PBB yang diterbitkan pada bulan Maret mengklaim bahwa Korea Utara menghasilkan sekitar 120 juta dolar AS pada tahun 2018 dengan menjual atau mentransfer hak penangkapan ikan yang melanggar sanksi PBB.

Jaeyoon Park, seorang ilmuwan senior di Global Fishing Watch dan penulis utama studi ini, mengatakan bahwa kapal-kapal yang terlihat terdiri dari "sekitar sepertiga ukuran seluruh armada pemancingan air jauh China."

"Ini adalah kasus penangkapan ikan ilegal terbesar yang diketahui dilakukan oleh kapal-kapal yang berasal dari satu negara yang beroperasi di perairan negara lain," katanya.

Dengan begitu banyak kapal di dekat pantai Korea Utara, armada perikanan negara itu kemudian didorong keluar, dipaksa untuk berlayar lebih jauh dari pantai untuk menemukan hasil tangkapan mereka, dan konsekuensinya mematikan, menurut Jungsam Lee, salah satu rekan penulis studi tersebut.

"Terlalu berbahaya bagi mereka untuk bekerja di perairan yang sama dengan kapal pukat China," kata Lee.

"Itulah sebabnya mereka didorong untuk bekerja di perairan Rusia dan Jepang dan itu menjelaskan mengapa beberapa kapal Korea Utara yang rusak muncul di pantai-pantai Jepang," pungkasnya.

Park dan para ahli lainnya mengatakan mereka dapat melacak kapal-kapal ini menggunakan teknologi satelit dan radar baru yang, karena tidak tersedia pada tahun-tahun sebelumnya.

Sumber terbuka dari intelijen LSM dan organisasi nirlaba menggunakan sumber ini untuk menganalisis lalu lintas laut. Harapannya, mereka menemukan atau memahami taktik yang digunakan penangkap ilegal untuk menghindari sanksi.

A North Korean squid boat in operation in the Russian waters is seen sometime between between August and October 2018.

Global Fishing Watch mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa, kapal yang secara ilegal menangkap ikan di perairan Korea Utara diyakini dimiliki dan dioperasikan oleh "kepentingan China" karena di situlah mereka berada.

Namun, kapal-kapal yang terlibat dalam aktivitas terlarang di perairan ini --apakah memindahkan barang di laut untuk menghindari mata para petugas bea cukai atau pasir pengeruk-- sering kali tidak memiliki dokumen yang memadai, membuat mereka lebih sulit dilacak.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: