Rencana penawaran umum perdana saham (Initial Public Offering/IPO) anak usaha (subholding) PT Pertamina terus memantik komentar dari berbagai pihak. Kali ini pendapat datang dari Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Menurutnya, posisi Pertamina dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 adalah sama seperti kontraktor asing yang semata-mata hanya sebagai pemain bisnis. Karenanya, sebagai sebuah entitas bisnis, maka rencana IPO subholding Pertamina merupakan satu hal yang wajar dan tak perlu dipermasalahkan. “Sebagai pelaku bisnis, rencana IPO subholding Pertamina tak perlu dipersoalkan lagi. Apalagi yang akan masuk bursa saham adalah anak perusahaan di bawah Pertamina,” ujar Hikmahanto, di Jakarta, Senin (27/7).
Sebagai perbandingan, menurut Hikmahanto, perusahaan-perusahaan dari luar negeri yang beroperasi di Indonesia juga diperbolehkan untuk melakukan go public. Karenanya, justru mengherankan mengapa rencana IPO anak usaha Pertamina menjadi hal yang kini justru seolah dipersoalkan. Sesuai UU, Pertamina adalah sebuah persero dengan negara memiliki 100 persen sahamnya. Sementara di level bawahnya, BUMN tersebut juga memiliki anak usaha, seperti PT PErtamina Hulu Energi dan juga PT Perusahaan Gas Negara Tbk. Yang perlu dan penting dijaga menurut Hikmahanto adalah di level induk , yaitu PT Pertamina, agar kepemilikan sahamnya tetap 100 persen dimiliki negara. “Kalau kita lihatnya di level bawah, PGN juga kan sudah go public. Bahkan sebelum jadi anak usaha Pertamina, saat mereka masih langsung di bawah negara, kan PGN sudah go public. Jadi apa masalahnya? Kenapa dulu tidak dipermasalahkan?” keluh Hikmahanto.
Dijelaskannya pula, saat ini banyak perusahaan migas dunia yang juga sudah IPO. Bahkan tidak sedikit diantaranya juga beroperasi di Indonesia, seperti Saudi Aramco pada tahun 2019 dan juga Exxon Mobil. Alasan utama dijalankannya IPO tentu adalah untuk mengurangi beban biaya yang harus ditanggung pemegang saham dalam menjalankan perusahaan. Karena yang bakal go public adalah anak usaha Pertamina, maka dengan sendirinya hal itu tentu juga bakal menguntungkan Pertamina selaku induk usaha. “Tujuannya (IPO) tentu untuk mengurangi biaya pemerintah dalam menjalankan perusahaan. Begitu juga (untuk membantu) Pertamina. Kalau yang di bawah ini (anak usaha) kurang duit, masak mau minta lagi ke negara. Kan malah jadi beban,” tegas Hikmahanto.
Sementara itu, pihak Pertamina melalui Direktur Utamanya, Nicke Widyawati, telah menyatakan bahwa rencana IPO subholding hanya merupakan salah satu dari beberapa opsi yang dimiliki perusahaan untuk menjalankan dan mengembangkan bisnis anak usaha agar lebih maksimal. Dengan go public, anak usaha diharapkan bisa lebih mandiri secara pendanaan, karena dalam enam tahun ke depan, Pertamina juga dituntut untuk dapat juga masuk ke bisnis energi terbarukan yang diperkirakan membutuhkan anggaran belanja modal (capital expenditure/capex) hingga US$133 miliar. Kebutuhan capex tersebut rencananya sebanyak 47 persen masih akan dipenuhi dari kemampuan internal perusahaan. Selanjutnya sebesar 15 persen lewat equity financing, 10 persen dari project financing dan 28 persen lagi external fund. “Nah dari external fund ini ada berbagai cara, mulai dari penerbitan bond, pinjaman perbankan sampai IPO. Jadi IPO hanya salah satu opsi dengan berbagai pertimbangan plus dan minusnya,” tegas Nicke, dalam kesempatan terpisah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma