Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Penertiban Kawasan Hutan Harus Kedepankan Kepastian Hukum, Keadilan dan Data

Penertiban Kawasan Hutan Harus Kedepankan Kepastian Hukum, Keadilan dan Data Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pakar Hukum Kehutanan, Dr. Sadino menyoroti langkah pemerintah dalam melakukan penataan dan pemetaan pertanahan di Indonesia. Ia menyoroti bagaimana hal tersebut iku menyeret sejumlah lahan kebun sawit yang memiliki izin dari Hak Guna Usaha (HGU).

Sadino menegaskan lahan yang mengantongi izin tersebut memiliki kekuatan hukum yang kuat sehingga tak bisa sembarangan disita atau disegel. Hal itu berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Baca Juga: Trade War AS-Tiongkok, Industri Sawit Indonesia Dapat Angin Segar

"HGU merupakan penetapan Menteri ATR/BPN yang jika sudah lebih dari empat tahun seorang menteri tidak bisa melakukan evaluasi kecuali ada putusan pengadilan yang membatalkan HGU sesuai asas hukum presumption lustae causa,’’ kata Sadino dalam keterangannya, Senin (28/4).

Presumption lustae causa merupakan asas yang menyatakan bahwa setiap keputusan negara dianggap sah kecuali ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang membatalkannya.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid mengaku ditugaskan Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan penataan dan pemetaan pertanahan dengan prinsip pemerataan, keadilan, dan kesinambungan ekonomi. Berdasarkan Surat Edaran Sekjen Kementerian ATR/BPN No. 9/SE.HT.01/VII/2024 tanggal 12 Juli 2024, di Provinsi Riau terdapat 126 perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), namun belum memiliki HGU.

Nusron mengimbau jajarannya untuk segera mengkategorikan berdasarkan letaknya, di dalam atau di luar kawasan hutan.

“Dilakukan identifikasi dari 126 perusahaan yang HGU-nya terbit lebih dulu daripada peta kawasan hutan mana saja. Mana yang HGU-nya terbit setelah ditetapkan kawasan hutan. Terkait MoU dengan Kementerian Kehutanan, jika HGU lebih dahulu terbit daripada penetapan kawasan hutan maka HGU itu yang akan menang,” ujar Menteri ATR/BPN di Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau pada Kamis (24/04/2025).

Lebih jauh, Sadino sepakat dengan langkah Menteri ATR/BPN tersebut. Menurutnya, pernyataan Nusron Wahid sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku, terutama merujuk pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dimana, kawasan hutan yang mempunyai kepastian hukum juga yang sudah harus yang ditetapkan. Penetapan merupakan tahap akhir dari rangkaian pengukuhan kawasan hutan.

"Tentu Satgas menjalankan Perpres 5 tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan ya harus menjalankan itu (UU Kehutanan) agar klaim kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan bisa diluruskan dan tidak menjadi berlanjut menimbulkan permasalahan hukum,’’ paparnya

Terkait klaim kawasan hutan atas lahan sawit yang telah mengantongi HGU, Sadino menegaskan bahwa penetapan kawasan hutan seharusnya dilakukan setelah diselesaikan dulu hak-hak pihak ketiga, termasuk HGU. Jika tidak, maka penetapan kawasan hutan tersebut menjadi cacat hukum dan dapat digugat.  

Dalam kasus tumpang tindih antara HGU dan klaim kawasan hutan, mekanisme penyelesaiannya adalah dengan melakukan enclave, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-2011. Mengacu pada aturan tersebut, apabila ada hak-hak perorangan seperti HGU, sertifikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (HGB) dan hak lainnya yang diklaim masuk kawasan hutan, pemerintah wajib mengeluarkannya agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat. 

Bagi lahan sawit yang telah disita atau disegel padahal memiliki HGU, Sadino menyebutkan bahwa negara harus memberikan kompensasi.

"HGU adalah hak konstitusional, sehingga tidak bisa serta-merta diambil alih tanpa ganti rugi," katanya.

Mengomentari langkah Satgas yang telah menyita lebih dari satu juta hektare lahan sawit, Sadino berharap Presiden Prabowo Subianto memastikan bahwa penertiban tidak mengganggu keberlanjutan industri kelapa sawit nasional. Pemerintah harus melakukan verifikasi terkait status lahan sawit dan juga status kawasan hutan di lapangan. 

Menurut dia, sumber hukum perolehan lahan perkebunan tidak hanya dapat dinilai sesuai kondisi hukum saat ini. Karena kegiatan perkebunan berbasis perizinan yang tentunya berlaku asas hukum locus (tempat) dan tempos (waktu) pada saat perolehan lahan.

Baca Juga: Kontribusi Sawit Besar bagi Ekonomi Nasional, Kepastian Hukum Jadi Keharusan

"Meskipun diklaim sebagai kawasan hutan, pelaku usaha kebun sawit tidak terlepas dari ganti rugi lahan karena memang lahan tersebut sudah ada pengakuan penguasaan pihak lain seperti hak adat," jelasnya. 

Sadino mengingatkan agar Satgas Penertiban Kawasan Hutan bekerja berdasarkan data yang valid, bukan hanya mengandalkan data Kementerian Kehutanan. Perizinan daerah juga harus menjadi pertimbangan utama.

Baca Juga: Bagaimana Nilai Gizi Minyak Sawit?

Baca Juga: 5 Peran Devisa Sawit bagi Indonesia

"Status kawasan harus dilihat benar-benar, apakah masih dalam tahap menunjuk, tata batas, atau sudah ditetapkan secara hukum sesuai Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011," tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: