Andree menerangkan, dengan kapasitas produksi vaksin sebesar 300 juta dosis per tahun dan kebutuhan dua dosis vaksin corona per orang, maka jika seluruh kapasitas digunakan hanya untuk produksi vaksin, mungkin akan perlu waktu dua tahun untuk memproduksi dan mendistribusikannya ke setiap penduduk Indonesia.
Padahal, lanjutnya, vaksin lain jelas masih tetap dibutuhkan sehingga akan terjadi dilema mana yang didahulukan. Negara lain yang populasinya lebih sedikit, vaksinasinya bisa saja selesai lebih cepat dan malah mungkin memiliki persediaan ekstra.
Di sinilah, kata Andree, pentingnya penghapusan tarif untuk menjadikan impor vaksin sebagai strategi pelengkap demi mempercepat penanganan Covid-19 tanpa mengorbankan penanganan penyakit lainnya.
"Di luar obat-obatan pun, kita masih mengenakan tarif yang cukup tinggi untuk APD dan alat medis," bebernya.
Data Geneva Network sekali lagi menunjukkan tarif APD sebesar 10,5% dan alat medis 5,5%. Tingginya tarif masuk seperti ini akan sangat memengaruhi harga jualnya. Kenaikan harga jual tentu memengaruhi keterjangkauan produk tersebut di pasaran.
Dia jelaskan, "kalau hambatan seperti ini tidak segera diatasi, mereka yang sakit malah dipaksa membayar lebih mahal."
"Pemerintah idealnya melihat penghapusan tarif sebagai instrumen untuk melancarkan perdagangan dan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan pasokan barang medis untuk menahan laju penyebaran Covid-19 sekarang maupun nanti setelah pandemi berlalu," sambung Andree.
Indonesia sebenarnya juga telah menghapuskan tarif impor untuk obat-obatan terkait Covid-19 untuk sementara waktu. Pemerintah di beberapa negara, seperti Pakistan, Brazil, Kolombia, dan Norwegia, telah menunjukkan keberpihakannya dengan membebaskan sementara obat-obatan, vaksin, dan pasokan alat medis terkait Covid-19 dari bea masuk dan pajak.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti