Sementara negara-negara yang tergabung dalam Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) saat ini sedang membahas rencana penghapusan setidaknya satu tahun pajak dan tarif atas produk medis terkait Covid-19.
"Kendati kebijakan tersebut merupakan langkah positif, sayangnya hanya bersifat sementara. Ini berpotensi menciptakan ketidakpastian bagi eksportir terkait arahan jangka panjang suatu pasar. Jadi, kondisi ini malah mengurangi kesiapan produsen dalam menghadapi pandemi lain di masa mendatang," paparnya.
Covid-19 kemungkinan besar bukanlah pandemi terakhir yang akan kita hadapi, pemerintah disarankan untuk mempertimbangkan penghapusan tarif pada obat-obatan, vaksin, dan pasokan medis secara permanen.
Salah satunya dengan segera mendukung Perjanjian Farmasi yang dicetuskan WTO (dikenal juga sebagai Zero for Zero) bersama-sama dengan 34 negara lainnya yang telah sepakat untuk menghapuskan tarif obat-obatan untuk semua anggota WTO.
Indonesia termasuk ke dalam deretan negara yang saat ini tercatat belum tergabung dalam komitmen ini bersama dengan India, Brazil, Afrika Selatan, Rusia, dan China. Tidak bergabung menjadi anggota Perjanjian Farmasi WTO mengindikasikan pemerintah dapat sewaktu-waktu menaikkan tarif obat-obatan di masa mendatang, yang akhirnya kembali membebani pasien.
"Bergabung dengan perjanjian ini berarti pasien dapat memeroleh obat-obatan bebas bea untuk seterusnya. Ini bukan hanya kunci untuk mengalahkan pandemi Covid-19, tetapi juga meninggalkan warisan yang positif untuk masa depan generasi yang akan datang," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti