Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman menyoroti dua faktor yang akan mengubah permainan ekonomi dan politik hari ini dan masa-masa mendatang.
“Ada dua faktor yang akan menjadi pengubah permainan (game changer) yakni Pandemi dan Demokrasi. Dua faktor ini akan saling mempengaruhi satu sama lain membentuk lanskap ekonomi politik baru," papar Sohibul dalam pidatonya saat Peringatan HUT Ke-75 Republik Indonesia secara virtual dari kantor DPP PKS, Jakarta, Senin (17/8/2020).
Sohibul menerangkan, terkait situasi pandemi. Indonesia per tanggal 16 Agustus 2020 sudah mencatat kasus positif lebih dari 137 ribu dengan korban meninggal 6.071 atau tingkat kematian 4,4 persen.
Baca Juga: PKS: Pemerintah Jangan Hanya Pandai Buat Rencana
Menurut dia, hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan mitigasi penyebaran pandemi Covid-19. Pemerintah harus mampu mengendalikan dan menurunkan tingkat penyebaran virus ini.
"First thing First adalah bagaimana mendorong akselerasi kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melakukan testing dan tracing. Tanpa kebijakan testing dan tracing yang masif, kita akan sulit menurunkan kurva epidemi," terang doktor lulusan Jepang ini.
Mantan Wakil Ketua DPR ini juga mengkritik data statistik yang dilaporkan pemerintah sebagai angka yang sangat konservatif dan tidak mencerminkan fakta sebenarnya.
Hal tersebut disebabkan dua hal. Pertama, karena setiap korban meninggal yang berstatus suspect, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan Orang Dalam Pantuan (ODP) tidak dicatat sebagai kematian akibat Covid-19 mengingat belum ada hasil tesnya.
Kedua, rendahnya kemampuan testing pemerintah. Saat ini Pemerintah Indonesia hanya mampu melakukan testing akumulatif sebanyak 1,8 juta tes atau jika dirata-rata hanya sekitar 6.800 spesimen per 1 juta penduduk. Angka ini sangat jauh dari ideal jika dibandingkan negara-negara lain di Asia, Eropa dan Amerika.
Baca Juga: Pidato Jokowi Kelewat Optimis, Ketua Fraksi PKS: Buktikan!
Selain pandemi, masa depan demokrasi akan sangat menentukan arah ekonomi politik bangsa Indonesia. Sohibul menyebut relasi antara otoritas negara, kekuatan pasar dan hak-hak rakyat akan ditentukan oleh bagaimana menjalankan roda pemerintahan.
"Apakah Pemerintah memilih jalan konsolidasi demokrasi atau justru menjadikan Pandemi sebagai justifikasi untuk melanggengkan hegemoni oligarki politik dan membuka jalan kembalinya otoritarianisme?," kata Sohibul.
Menurut dia, Indonesia sudah pernah terjebak dua kali dalam rezim pseudo-democracy atau Demokrasi Semu yang sejatinya merupakan rezim otoritarianisme yakni pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967) di era Orde Lama dan Masa Demokrasi Pancasila (1967-1998) di Era Orde Baru.
Kegagalan kedua rezim tersebut dalam mengkonsolidasikan demokrasi dari demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial menjadikan keduanya memilih jalan pintas dengan memutar balik (turn around) ke pilihan authoritarian.
Selama 20 tahun lebih proses demokratisasi pasca reformasi, Indonesia kembali lagi terjebak dalam demokrasi prosedural dalam bentuk yang lain. Ada yang mengatakan Indonesia saat ini terjebak dalam Demokrasi Oligarki di mana demokrasi dikendalikan oleh segelintir elite yang menguasai sumber daya kapital.
"Oligarki membajak demokrasi dan aktor-aktor demokrasi untuk menghamba kepada kepentingan pemilik modal. Oligarki menguasai elite politik dan para pembuat kebijakan untuk memuluskan kepentingan pemodal dan investor melalui regulasi yang diciptakan," terang dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Annisa Nurfitri