Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Alvin Lie, seorang komisaris di kantor Ombudsman Indonesia, mengatakan seruan pada bulan Maret oleh Presiden Jokowi untuk perluasan tes diagnostik cepat besar-besaran mungkin telah merusak pengujian negara.
Studi ilmiah telah menunjukkan tes cepat, yang menguji sampel darah untuk antibodi, ternyata jauh kurang akurat daripada metode PCR, yang menguji penyeka dari hidung atau tenggorokan untuk mengetahui materi genetik. Tiga manajer lab mengatakan kepada Reuters bahwa dorongan Jokowi untuk menggunakan pengujian yang kurang andal mengalihkan sumber daya dari pengujian PCR.
Baca Juga: Kerja Sama Vaksin Covid-19, Erick: Bio Farma Bukan Tukang Jahit
Alvin Lie mengatakan kepada Reuters bahwa para importir tes cepat, termasuk perusahaan besar milik negara dan perusahaan swasta, memperoleh "keuntungan besar" dengan mengenakan biaya kepada konsumen hingga Rp1 juta, meskipun setiap tes hanya serharga Rp50.000.
Pada pertengahan April, pemerintah provinsi mengatakan tes cepat di provinsi di Jawa Barat, Bali, dan Yogyakarta menghasilkan ratusan negatif palsu dan positif palsu. Namun, tes tersebut terus digunakan secara luas dan butuh waktu hingga Juli untuk menghentikan impor alat tes cepat dan bagi pemerintah untuk memberlakukan batasan harga sebesar Rp150.000. Pada bulan Juli, Indonesia juga secara resmi menyarankan pemerintah provinsi dan lainnya untuk tidak menggunakan alat tes cepat untuk tujuan diagnostik dalam pedoman terbaru untuk pencegahan dan pengendalian COvid-19.
Namun, Alvin Lie mengatakan ada persediaan yang sangat besar dan tes cepat masih dilakukan secara luas, termasuk untuk menyaring pekerja kantor dan pelancong untuk memungkinkan mereka bergerak bebas selama 14 hari.
"Itu seperti mengatakan selama 14 hari ke depan setelah tes cepat mereka bebas dari virus. Itu benar-benar tidak masuk akal. Semua itu menunjukkan, dan tidak terlalu akurat, mereka bebas dari virus saat sampel diambil," kata Alvin.
Adisasmito menolak berkomentar apakah seruan presiden untuk tes cepat merusak upaya pengujian secara keseluruhan. Dia mengakui ketidakakuratan alat tes cepat, tetapi mengatakan itu masih berguna dalam beberapa situasi di mana kapasitas untuk menggunakan tes PCR terbatas, termasuk menyaring wisatawan. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan tentang perusahaan yang mendapat untung besar dari tes.
Pemerintah pusat tidak mengungkapkan tingkat tes cepat nasional. Meski begitu, data dari Jawa Barat, provinsi di Indonesia dengan 50 juta orang, menunjukkan bahwa mereka telah melakukan tes cepat 50 persen lebih banyak daripada tes PCR.
Pejabat pemerintah mengatakan 269 laboratorium dengan mesin PCR sekarang beroperasi. Namun, laboratorium makin tidak dapat memenuhi permintaan karena jumlah kasus infeksi meningkat. Menurut data pemerintah, jumlah kasus yang dicurigai (suspect)—mereka yang memiliki gejala Covid-19 yang belum dites—meningkat dua kali lipat menjadi 79.000 dalam sebulan terakhir.
Menurut empat pejabat kesehatan, sebagian dari masalahnya adalah kapasitas lab masih jauh dari dimanfaatkan sepenuhnya. Seorang pejabat senior kementerian kesehatan, Achmad Yurianto, mengatakan kepada Reuters bahwa Indonesia mampu menguji 30.000 orang per hari, lebih dari dua kali lipat rata-rata harian 12.650 orang yang dites selama sebulan terakhir.
Lima manajer laboratorium dan konsultan yang dihubungi oleh Reuters mengatakan kegagalan untuk menggunakan kapasitas pengujian negara tersebut disebabkan oleh kesalahan manajemen pemerintah yang menyebabkan kekurangan staf dan reagen, bahan kimia yang diperlukan untuk pengujian.
Adisasmito tidak menanggapi pertanyaan tentang manajemen pengujian pemerintah. Pekan lalu, dengan menjelaskan kekurangan dalam pengujian, Yurianto mengatakan laboratorium tidak memiliki cukup waktu untuk memeriksa semua spesimen, dengan beberapa laboratorium bekerja dengan hari dan jam yang terbatas.
Pelacakan Kontak Minimal
Pengujian PCR yang luas dan hasil cepat sangat penting untuk melacak kontak orang yang terinfeksi oleh virus corona. Menurut pedoman nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia pada 13 Juli, pelacakan kontak adalah "kunci utama dalam memutus rantai penularan Covid-19."
Reuters berbicara dengan 12 petugas kesehatan di seluruh Indonesia yang menggambarkan upaya pelacakan kontak negara ini ceroboh dan tidak efektif. Rahmat Januar Nor, petugas kesehatan di kota delta Banjarmasin di Kalimantan, Indonesia, mengatakan bahwa informasi tentang kasus baru virus corona sering masuk ke kantornya di berbagai wilayah dengan nama yang tidak lengkap, nomor telepon yang tidak aktif atau alamat yang sudah kadaluwarsa untuk pasien dan kontaknya yang dilihat oleh petugas kesehatan di seluruh negeri.
"Kami meminta bantuan para pemimpin desa," kata Nor kepada Reuters. "Tapi pada akhirnya kami tidak menemukan mereka (kontak) hampir sepanjang waktu."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: