Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Nor dan pejabat kesehatan lainnya mengatakan ketika mereka mencapai kontak, banyak yang menolak untuk dites, takut mereka akan kehilangan pekerjaan atau dikucilkan di komunitas.
Data yang tidak dipublikasikan dari satuan tugas Covid-19 pemerintah, yang ditinjau oleh Reuters, menunjukkan hanya 53,7 persen orang yang diidentifikasi sebagai pembawa penyakit yang dikonfirmasi atau dicurigai menjadi sasaran pelacakan kontak pada 6 Juni.
Baca Juga: Elite-Elite Masih Percaya Jokowi Mampu Lawan Covid-19
Adisasmito tidak memberikan data pelacakan kontak yang lebih baru, tetapi mengakuinya "tetap rendah" dan mengatakan pemerintah bertujuan untuk melacak 30 orang per kasus positif. Itu masih rendah dibandingkan negara Asia lainnya. Korea Selatan mengatakan pada Mei lalu melacak dan menguji hampir 8.000 orang setelah seorang pria dengan virus mengunjungi kelab malam.
Menurut lima orang yang mengetahui masalah ini, WHO menyarankan pihak berwenang Indonesia bahwa pelacakan kontak harus melibatkan setidaknya 20 orang yang dilacak per kasus yang dikonfirmasi dan dicurigai. Akan tetapi, menurut pejabat provinsi dan data yang ditinjau Reuters, menyatakan Indonesia hanya rata-rata melacak sekitar dua kontak per kasus.
Di Jakarta, tempat epidemi pertama kali terjadi di Indonesia, data menunjukkan rata-rata kurang dari dua kontak yang dilacak untuk setiap kasus yang dikonfirmasi dan dicurigai pada bulan Juli. Di Jawa Timur, hotspot lain, tingkat penelusurannya 2,8 kontak per setiap pasien yang dikonfirmasi dan dicurigai. Ini disampaikan peneliti dari Universitas Airlangga.
Seorang juru bicara WHO mengatakan Indonesia mulai mengikuti rekomendasi pelacakan kontaknya pada pertengahan Juli.
Selalu di Gelombang Pertama
Seorang penasihat pemerintah mengatakan keputusan Indonesia untuk menolak lockdown total didorong oleh masalah ekonomi dan keamanan. Sebaliknya, ia mendesak masyarakat Indonesia untuk memakai masker, mencuci tangan, dan mempraktikkan jarak sosial saat bekerja, bepergian, dan bersosialisasi.
"Argumennya adalah kami tidak (mampu membelinya)," kata Soewarta Kosen, seorang ekonom kesehatan yang berkonsultasi dengan pemerintah mengenai tanggapan virus korona, kepada Reuters. "Kami takut akan terjadi kerusuhan sosial."
Survei menunjukkan penekanan Jokowi pada ekonomi populer. Perekonomian Indonesia menyusut hanya 5,3 persen pada triwulan kedua tahun 2020, jauh lebih sedikit dibandingkan banyak perekonomian di negara lain. Namun, ahli epidemiologi mengatakan mereka khawatir keputusan itu akan merugikan Indonesia dalam jangka panjang, terutama karena sistem kesehatannya tidak memadai untuk mengatasi jika kasus positif terus meningkat.
Dr Bambang Pujo, seorang ahli anestesi yang rajin di rumah sakit rujukan utama Covid-19 di Surabaya, mengatakan angka kematian di bangsalnya antara 50 persen hingg 80 persen dan tidak ada tempat tidur yang cukup.
"Sepuluh jam di dalam baju hazmat seperti lari maraton dua kali," katanya, menggambarkan jam-jam panjang yang dia habiskan dengan alat pelindung di dalam unit perawatan intensif. "Bayangkan bagaimana perasaan kita. Ini seperti bermain sebagai Tuhan. Kami berharap kami tidak membuat kesalahan dan jika kami melakukannya, kami dimaafkan."
Indonesia hanya memiliki 2,5 tempat tidur perawatan intensif per 100.000 orang. Data ini dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang memimpin gugus tugas Covid-19. Itu sebanding dengan 6,9 per 100.000 orang di India, menurut laporan bulan April dari Universitas Princeton. Adisasmito mengatakan sistem pelayanan kesehatan terus ditingkatkan.
"Kita harus tahu infrastruktur kita belum siap menghadapi pandemi seperti ini," kata Pujo. "Negara lain telah mendengar gelombang kedua. Kami selalu di gelombang pertama."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: